Pendamaian dalam surat
Efesus
I.
Pengantar
Perbedaan dan kekerasan sering terjadi dalam
kehidupan manusia, bukan saja pada saat ini, bahkan juga mulai sejak zaman
gereja mula-mula, perbedaan dan kekerasan sering terjadi. Perbedaan sebenarnya
adalah sebuah hal yang indah jika kita mampu melihat perbedaan itu sebagai
pemersatu. Namun pada kenyataannya, perbedaan sering menjadi pemicu kekerasan
bahkan sikap apatis bagi beberapa kelompok. Hal ini juga terjadi pada jemaat di
Efesus, adanya perselisihan akibat perbedaan. Sehingga tidak tercipta
perdamaian. Namun dengan kedatangan Paulus yang menjelaskan arti kematian
Yesus, bahwa dengan kematiaanNya, Ia telah memperdamaikan umatNya, bagaimanakah
cara Paulus menjelaskan hal tersebut, semoga materi ini dapat memberikan kita
jawaban atas hal tersebut.
II.
Pembahasan
2.1. Pendamaian
2.1.1.
Pengertian
Pendamaian
Dalam KBBI, kata ‘damai’ diartikan suatu keadaan
yang tak bermusuhan, tak ada perselisihan, berbaik kembali, tenteram dan aman.
Poerwadarminta mengatakan bahwa kata ‘damai’ menyangkut berbagai aspek hidup,
misalnya dalam keluarga, masyarakat, Negara, dan lain-lain. Sedangkan kata
mendamaikan adalah merupakan bentuk kata
benda, yang berasal dari kata dasar ‘damai’ ditambah dengan awalan ‘men’ dan
akhiran ‘an’. Dalam penambahan imbuhan tersebut kata mendamaikan menjadi suatu
kata yang didalamnya terdapat unsure kesengajaan untuk berbuat atau melakukan
sesuatu, yakni membuat supaya damai, membuat supaya tidak berseteru atau
bermusuh, dan lain-lain. Jadi kesimpulannya, mendamaikan berarti menyelesaikan
suatu permusuhan supaya kedua belah pihak berbaik kembali.[1]
Secara normatif,
telah tersedia sejumlah petunjuk bagaimana seharusnya umat beragama
menyelenggarakan keadilan dan perdamaian. Masalahnya adalah bahwa justru hal
itu yang tidak terjadi. Pada aras praksis kita memang selalu menghadapi hal
yang berbeda dengan yang diidealkan. Dalam kaitan dengan hal itu, beberapa
fakta dapat diangkat.
- Umat beragama sendiri menyelewengkan
ajaran-ajaran agama demi tujuan mereka sendiri. Mereka menafsirkan
keadilan dan perdamaian sedemikian rupa sehingga berorientasi pada tujuan
mereka sendiri.
- Agama diselewengkan oleh pihak-pihak
tertentu untuk tujuan tertentu yang tidak luhur, misalnya demi mencapai
kekuasaan. Ajaran-ajaran agama yang luhur mengenai keadilan dan perdamaian
dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menjadi sempit dan picik.
- Watak ajaran agama yang bersifat
memperbudak ditonjolkan sedemikian rupa sehingga agama sungguh-sungguh
menampilkan wajah yang kejam. Allah ditampilkan sebagai Allah yang siap
menghukum, padahal Dia adalah Allah yang mengasihi.[2]
Sebagai penuntun
kehidupan umat manusia, agama pada prinsipnya terdiri dari nilai-nilai yang
mencerminkan kepedulian tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan karena itu
agama menolak segala bentuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan
nilai-nilai tersebut. Dalam tataran ajaran, agama manapun sangat menekankan
kehidupan yang penuh kedamaian dan sejenisnya, serta melarang segala bentuk
kekerasan.[3]
Menurut Eka Darma
Putera, menekankan bahwa agama mempunyai dimensi dalam perwujudannya: dimensi
mitos, dimensi ritus dan dimensi etis. Dimensi mitos memberi pegangan mengenai
apa yang harus dipercayai. Dimensi ritus adalah dimensi di mana orang mengekspresikan apa yang ia percayai.
Dan akhirnya dimensi etis adalah di mana orang mengaktualisasikan apa yang dipercayainya itu di dalam kehidupan
praktis.
Pada dimensi inilah,
agama mempunyai nilai praksis. agama-agama bila mau berfungsi, harus bersiteguh
hati menerobos kebekuan dogmatisme dan ritualismenya, dan mulai menaruh
perhatian yang amat serius terhadap tantangan-tantangan etis. Ketika agama-agama secara sendiri-sendiri menyadari
tantangan-tantangan etis ini, ia akan menyadari bahwa tantangan-tantangan etis
ini adalah tantangan-tantangan bersama. Masalah-masalah etis mendasar yang
sedang kita hadapi semuanya adalah masalah-masalah bersifat “lintas agama”.
Masalah-masalah yang menyangkut kemiskinan, ketidakadilan, kebebasan, HAM,
demokrasi, lingkungan hidup, kesenjangan sosial dan sebagainya adalah
masalah-masalah yang tidak membeda-bedakan agama. Dan sesungguhnya
kekuatan-kekuatan yang memiskinkan, menindas, yang menimbulkan rasa takut, yang
merampas hak-hak asasi manusia, kekuatan yang merusak alam ciptaan, keserakahan
dan kerakusan akan kuasa dan kebendaan dan sebagainya itu, itulah personifikasi
dari kekuatan demonis abad ini.
Kekuatan-kekuatan itu adalah setan, atau iblis dalam arti yang seriil-riilnya.
Musuh agama bukanlah agama lain, melainkan setan-setan itu.[4]
Jika sumber-sumber
agama dilihat, dapat disebutkan bahwa semua agama bersikap kritis dalam
penggunaan kekerasan. Taoisme dan Konfucianisme memiliki apa yang disebut
sebagai golden rule: “apa yang tidak ingin dilakukan kepadamu, jangan lakukan
kepada orang lain”. Ini bukan sekedar soal perasaan saja yang kemudian menjadi
relatif, tetapi hal ini merupakan seruan untuk mengatasi kekerasan. Brahmanisme
Hindu dan Budha jelas memiliki ajaran ahimsa,
doktrin untuk melampaui segala bentuk kekerasan, karena penyebab segala
perilaku buruk adalah ahimsa. Mahatma Gandhi sepanjang hidupnya menaruh
perhatian besar pada ahimsa ini. Budha menyerukan toleransi dan menetapkan
larangan tanpa syarat untuk membunuh. Kebaikan budi, simpati, merasakan
kesenangan dan kedamaian merupakan empat budi utama yang harus ditanamkan dalam
semua perilaku. Islam sebagai agama damai selalu didengang-dengungkan sebagai
hakikat dari keislaman. Dalam istilah Islam saja sudah berarti kepatuhan yang
di dalamnya ada pengabdian, ketaatan. Juga dalam agama Kristen, jelas sekali
bahwa panggilan damai dengan mengasihi sesama menjadi perhatian penting dari
kitab suci.
Tidak
diragukan bahwa agama berperan penting dalam penciptaan masyarakat yang damai.
Perdamaian dapat diartikan sebagai tidak adanya atau berkurangnya segala jenis
kekerasan dan juga transformasi konflik kreatif non-kekerasan, sehingga kerja
perdamaian adalah upaya mengatasi kekerasan dengan cara damai.[5]
Dengan demikian, agama menjadi sebuah komitmen terdalam bagi manusia untuk
mencapai harmoni dan perdamaian bagi manusia pada masa kini dan mendatang di
mana yang menjadi penekanan di sini bahwa peranan agama bukanlah terutama
melestarikan nilai-nilai tradisional, tetapi berperan lebih sebagai suatu
kekuatan transformatif.[6]
Dengan memainkan fungsi transformatifnya, agama tidak lagi dirasakan sebagai
kekuatan yang melakukan dehumanisasi manusia dan kebudayaan, melainkan sebagai
kekuatan konstruktif dan kritis. Ia akan memilik vitalitas transformatifnya
lagi sehingga mampu melakukan rekonstruksi sosial menuju kepada pembangunan
sosial yang ideal bagi umat manusia yang berkeadilan dan beradab.[7]
2.1.2.
Pendamaian
dalam PL
Pendamaian dalam PL diperoleh dengan mengadakan atau
melaksanakan korban-korban dan ada kaitannya tentang “darah pendamaian”. Allah
telah berkata, “Aku telah memberikan darah itu kepadamu diatas mezbah untuk
mengadakan pendamaian bagi nyawamu” (Im. 17:11). Kata kerja bahasa Ibrani untuk
‘mendamaikan’ adalah Lekapper, yang
berarti meliputi. Kata ini dipakai dengan beberapa cara dalam hubungan dengan
pendamaian, kadang-kadang Allah adalah subyek, kadang-kadang Allah manusia atau
persembahannya (korban bakaran) yang menjadi subyek.[8]
Jadi persembahan pendamaian memainkan peranan penting dalam kultus. Bagi bangsa
Israel kultus dimaksudkan untuk memelihara persekutuan antara Allah dengan
manusia, supaya tetap murni. Kultus merupakan alat berintegrasinya persekutuan
Allah dengan manusia yang Allah sudah tetapkan didalam perjanjianNya. Dapat juga
disebutkan dengan melaksanakan kultus sudah tiba pada proses pendamaian.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa terjadinya
pendamaian adalah karena renggangnya hubungan manusia dengan Pencipta. Hal ini
jelas digambarkan dalam kejadian 3, dimana laki-laki dan perempuan, setelah
kedapatan atau ketahuan oleh Allah melakukan penyimpangan dari PerintahNya,
mereka menjadi takut dihadapan Allah. Mereka sadar bahwa Allah mengetahui
manusia itu tidak patuh kepada Allah.[9]
Akibat ketidaktaatan manusia kepada Allah, maka manusia akan binasa. Tetapi
Allah telah berjanji untuk tidak membinasakan umatNya dari bumi yang telah
diciptakanNya, karena itu, Allah mendamaikan manusia dengan diriNya sendiri,
supaya manusia bebas dari maut. Jadi pendamaian dalam PL itu harus dijawab
(oleh bangsa Israel) dengan korban-korbannya sebagai tanda bahwa mereka berada
didalam perjanjian dengan Allah.
Pendamaian tersebut dilatarbelakangi oleh:
1. Dosa
yang ada pada manusia bersifat universal (1 Raja 8:46 ; Mzm 14:3)
2. Bobot
dari dosa tersebut sudah amat berat (Hab 1:13 ; Yes 59:2)
3. Manusia
sudah tidak mampu lagi untuk mengatasinya (Bil 32:23 , 20:9)[10]
Korban yang mau dipersembahkantidak boleh tercela,
perlu adanya kesempurnaan, pendamaian tidak murah dan mudah karena bobot dosa
sangat berat. Kematian korban adalah segi yang sangat penting dari pengorbanan
itu. Hal itu terungkap sebagian dalam kiasan ‘darah’, sebagian dalam sifat umum
upacara pengorbanan itu. Untuk itulah Kristus, Anak Allah datang kedunia untuk
menyelamatkan manusia.
2.1.3.
Pendamaian
dalam PB
Untuk mengungkapkan gagasan tentang pendamaian dalam
Perjanjian baru digunakan kata “καταλλασσω” (Katallasso). Dan yang serumpun
dengannya sangat sedikit digunakan dalam Septuaginta (LXX). Akar kata hanya
muncul sekali dalam Yeremia 31:39 (καταλλαζην) dan artinya disitu bukanlah
‘pendamaian’ melainkan ‘perubahan’. Kata yang lain yaitu dalam Yesaya 9:5
(LXX), ‘ειρηνην’ dan 1 Samuel 29:4 (LXX), ‘κατεστησας’, tetapi hanya kata
eirenen itulah yang benar-benar menunjuk pada pendamaian dua orang.[11]
Dalam Yudaisme mula-mula, gagasan pendamaian dipakai untuk menunjukkan
keinsafan bahwa manusia harus diperdamaikan satu kepada yang lain sebelum dapat
berdamai dengan Allah. Sedangkan dalam dunia Hellenis, kata kerja “kattalessein
dan diallassein” juga diartikan sebagai “mendamaikan”. Tetapi hamper tidak
pernah dipakai untuk menyatakan hubungan antara Allah dan manusia.[12]
Kemungkinan karena inilah Paulus sering menggunakan
istilah “kattalessein” (mendamaikan) dalam bentuk infinitive, yang artinya
menunjukkan “hubungan antara Allah dengan manusia”. Dan kata ini sering
dihubungkan dengan kata “diallassein” (Mat. 5:24). Kedua kata ini sama-sama
menunjukkan arti penyelesaian antara dua belah pihak melalui suatu pekerjaan
yang hebat, yang tidak ditemukan didunia ini. Dalam kesusasteraan orang
Kristen, pada abad I, kata ini hanya didapatkan dalam surat Paulus, yang
diartikan sebagai pekerjaan Paulus. Allah yang telah berjanji dalam FirmanNya
kepada manusia (bangsa Israel) akan menanggapinya dengan cara menciptakan suatu
hubungan baru. Untuk mencapai hal ini, Allah telah menjadi manusia. Dengan cara
inilah kita dapat berbicara tentang pendamaian diantara Allah dan manusia. Jadi
pendamaian dalam PB itu adalah karya yang telah dilakukan oleh Kristus untuk
mengatasi keterasingan manusia dari Allah sebagai wujud dari kasih Allah kepada
manusia. Allah tidak butuh pendamaian dari manusia, tetapi Ia mengambil
prakarsa bagi pendamaian dan manusia atau dunia menjadi obyeknya sebab Allah
mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus (2Kor 5:19), kita diperdamaikan
dengan Allah oleh kematian anakNya (Rm. 5:10).[13]
Sebab hanya melalui Kristus, pelanggaran yang
terjadi dibawah perjanjian pertama memperoleh penebusan (Ibr. 9:15). Pendamaian
terlaksana oleh kematian itu, jadi pendamaian adalah pemberian yang harus
diterima (Rm. 5:11). Hal itu berasal
dari Allah dan diberikan kepada manusia dal tersebut secara langsung atau tidak
langsung bukan merupakan perbuatan manusia itu sendiri. Allah dalam Kristus
telah mendamaikan manusia dengan diriNya dan telah memberikan kepada para Rasul
pelayanan pendamaian itu. Allah telah mengaruniakan kepada manusia berita yang
harus disampaikan kepada sesamanya, berita itu adalah bahwa pendamaian itu
telah terlaksana. Hal itu merupakan proklamasi bahwa Allah telah melakukan
sesuatu bagi manusia. Berdasarkan karya yang telah selesai ini, maka Paulus
menasihati manusia agar diperdamaikan dengan Allah. Manusia harus menunjukkan
ketaatan yang penuh kasih kepada Allah yang mengasihi. Jadi karya pendamaian dalam
pengertian PB adalah karya yang telah selesai, dan kita harus menerimanya sebagai karya yang sudah selesai sebelum
injil itu diberitakan.[14]
Pendamaian (ειρηνη) dalam Perjanjian Baru
1. Ειρηνη
dalam pengertian yang luas atas banyak pemikiran
2. Ειρηνη
sebagai keselamatan eskatologi bagi semua orang
3. Ειρηνη
sebagai pendamaian dengan Allah
4. Ειρηνη
sebagai pendamaian seorang terhadap manusia yang lain
5. Ειρηνη
sebagai pendamaian dari jiwa
2.1.4.
Pendamaian
dan Salib Kristus
Pendamaian Allah didalam Yesus Kristus tidak
terlepas dari Salib Kristus, Salib merupakan lambing penderitaan dan kematian
Yesus Kristus, salib menandakan tempat dimana manusia yang berdosa berjumpa
dengan Allah. Salib berdiri dimana arus kehidupan manusia keruh dan arus kasih
karunia ilahi yang tidak henti-hentinya berjumpa untuk ditransformasikan oleh
kepribadian Yesus. Dengan salib Kristus, dosa manusia dihapuskan dan
orang-orang berdosa diperbaharui (adanya pengampunan dan pembaruan).[15]
Salib adalah inti iman, tanpa salib keselamatan manusia tidak akan pernah
menjadi kenyataan. Salib atau kasih penebusan Allah terungkap dalam Yesus dan
merupakan dinamika sentral dari seluruh sejarah. Semuanya ini terjadi antara
lain karena perbuatan yang mendamaikan. Sementara Paulus menyebutkan bahwa
salib Kristus merupakan kekuatan, kemenangan, kemegahan, dan hikmat Allah.[16]
Bagi umat Allah, salib berarti
kebebasan, manusia telah menjadi budak dosa, namun melalui kematian Kristus
kita telah dibebaskan untuk menjadi abdi Kristus dengan sukacita. Salib
mencipta perbedaan antara penghambatan dalam kehidupan lama dengan kemerdekaan
dalam ketaatan. Kemerdekaan disini maksudnya kebebasan anak-anak Allah yang
dimotivasi oleh kasih bukan oleh hukum.[17]
Adapun makna salib Kristus bagi kita adalah agar kita bisa hidup melalui
diriNya, agar kita bisa hidup demi diriNya dan agar kita bisa hidup bersama
diriNya. Karya Allah dalam diri Yesus dinyatakan dalam terang salib dan
kebangkitaNya. Dengan salib Kristus, Ia telah memperdamaikan kita dengan diriNya
sendiri (2 Kor 5:19). Hasil karya pendamaian Kristus adalah bahwa sekarang kita
beroleh jalan masuk kepada Bapa dalam satu Roh (Ef. 2:18). Kematian Kristus
mengacu kepada pengorbanan kudus, yang melukiskan pelayanan Kristus yang telah
melakukan penyucian dosa (Rm. 5:8-9). Sehubungan dengan hal itu , Paulus juga
menekankan bahwa pelayanan Kristus telah memberi gambaran kebenaran
(Justification), penebusan dari perbudakan (Redemption), persembahan korban
penebusan dialtar dan pendamaian (Reconciliation)
untuk melanjutkan keadilan Allah yang penuh dalam Kristus melalui kasih
karuniaNya.[18]
Tujuan Allah melalui karya Anak dan RohNya adalah menciptakan suatu masyarakat
yang telah diperdamaikan, yang tidak ditolerir lagi oleh tembok pemisah atau penyekat-penyekat
lain, dan dalam pengaruh ras, nasionalisme, kedudukan dan perbedaan gender yang
cenderung memecah belah.[19]
2.2. Pengantar ke dalam
surat Efesus
2.2.1.
Sits
Im Leben
1. Geografis
Kota
Efesus merupakan sebuah kota yang cukup besar, subur di Asia, yang sekarang
hanya tersisa puing-puingnya saja dinegeri Turki. Dizaman PB, kota Efesus
terletak dipantai laut tengah menjadi ibukota provinsi Asia.[20]
Tempat ini merupakan pusat dimana PAulus dengan mudah dapat mengadakan hubungan
melalui darat atu laut dengan jemaat-jemaat baru yang telah didirikannya di
Asia Kecil dan di Eropah. Kota ini juga merupakan pusat dimana ia dan
rekan-rekannya dapat pergi keseluruh
provinsi Asia.[21]
Sementara Adina menyebutkan kota Efesus merupakan kota yang termaju dan yang
terkenal sebagai pusat perniagaan diprovinsi itu. Jalan raya dari Timur ke
Barat melintasi Efesus, sehingga boleh dikatakan di Efesus, Timur dan Barat
bertemu. Bahasa Yunani menjadibahasa pengantar dan kebudayaan Yunani berkembang
pesat dikota itu.[22]
2. Politik
Bangsa
Romawi memasuki kota Efesus bukanlah
melalui peperangan. Romawi menggolongkan dua bentuk pemerintahan atas daerah
jajahannya, yakni daerah yang rawan (memberontak), pemerintahannya langsung
dibawah kaisar dengan menempatkan perwakilannya, sedangkan daerah yang dinilai
cukup damai dan setia, pemerintahannya diserahkan kepada Gubernur-gubernur
propinsi. Efesus digolongkan kepada bentuk yang kedua dimana mereka sebagai Ibu
kota provinsi Asia bebas menjalankan pemerintahan sendiri. System pemerintahan
kekuasaan dipegang oleh siding rakyat yang diselenggarakan secara resmi (Kis.
19:39), sedangkan para pemimpin atau senat kota itu berfungsi sebagai pembuat
undang-undang. Sekretaris kota atau panitera kota adalah pejabat yang bertanggung
jawab, ia bertugas memelihara pengakuan dan mengajukan kesalahan kepada sidang
rakyat.[23]
Namun walaupun bebas melakukan pemerintahan sendiri, sistemnya selalu mengikuti
pola Romawi didalam segala bidang kehidupan baik politik, social ekonomi, maupun
kepercayaan atau budaya. Apapun yang dilakukan Romawi, jajahan akan
mengikutinya supaya tidak dianggap memberontak.[24]
Memang tidak ada data yang autentik
menjelaskan tentang historis perpolitikan dikota efesus ini, hanya saja pada
tahun 560 SM, efesus ditaklukan oleh Krusus, dan sebagian dari kemegahan seni
efesus (gedung teater, tempat pemandian, perpustakaan, dll) dihari kemudian
dikatakan adalah berkat kemurahan hati raja itu. Efesus ditaklukan oleh orang
Persia tahun 557 SM, dan sesudah itu
sejarahnya beraneka ragam sampai 133 SM, tatkala kota itu merupakan bagian dari
kerajaan Perganum, yang diwariskan oleh Raja Atalus II kepada Roma.[25]
Paulus dalam perjalanan penginjilannya yang ketiga yaitu kekota efesus pernah
tinggal lebih dari dua tahun (Kis. 19:8-10 , 20:31), hal ini karena tertarik
oleh keutamaan Efesus yang strategis sebagai pusat perdagangan, politik, dan
agama.
3. Ekonomi
Sehubungan dengan letak geografis diatas, maka dapat
disimpukan bahwa kehidupan ekonomi kota efesus adalah tergolong makmur.
Diberbagai-bagai tempat didirikan patung-patung, gapura-gapura kemenangan,
gedung-gedung perpustakaan, dan jalan-jalan yang baru bersimpang siur. Kota
Efesus merupakan kota pelabuhan, hal ini tentu akan meningkatkan pendapatan
Negara dan kota Efesus sudah memiliki mata uang yang mempunyai tulisan ukir
Diana Ephesia (Kis 19:34), jadi pada masa kemegahan kota Efesuslah, Paulus
datang ke kota Efesus.[26]
4. Agama
Dikekaisaran Romawi khususnya didunia Hellenis,
walaupun sebenarnya sesat, namun mereka sangat mengindahkan agama (Kis 17:22,
tentang orang Athena dimata Paulus sebagai orang yang beribadah kepada
dewa-dewa). Orang berhasrat mencari Allah dengan menempuh berbagai-bagai jalan.
Konteks religious adalah yang tidak boleh dilupakan dalam kritik sosiologis,
karena justru agama adalah yang selalu dijumpai para Rasul pembawa Injil dalam
menunaikan tugas mereka setiap hari adalah agama kafir dan agama Kristen.
Mengenai agama kafir, sifat dan praktek agama Yunani mempengaruhi dunia
Hellenis digambarkan oleh Sizzo, sebagai berikut: agama Yunani Hellenis tumbuh
dari pemujaan kodrat alam, mis. : Matahari, bulan, guruh dan petir, bumi, laut,
sungai, dan segala kejadian dan kekuatan alam, dipandang sebagai ilah. Setiap
kota mendapat dewa perlindungan yang dipuja dengan usaha dan biaya pemerintah.
Begitu berjumpa dengan dewa-dewa yang disembah oleh penduduk asli, maka disana
dilakukan percampuran dengan dewa mereka sendiri, sehingga beberapa daerah
mempunyai sifat yang berlainan.[27]
Mengenai agama Kristen, di Efesus berkembang juga
agama Kristen, namun agama Kristen juga merupakan persoalan, dimana
kelangsungan ajaran Yohanes Pembaptis dipertanyakan setelah Yohanes Pembaptis
wafat. Sementara murud-muridnya masih aktif. Kehadiran Paulus yang membawa
agama Kristen, menolak sinkretisme dan menentang ibadah kepada kaisar menjadi
perlawanan dari phak agama yang sudah mapan. Jadi dapat disimpulkan situasi
keberagaman dikota Efesus beragam-ragam ditambah lagi kebebasan yang diberikan
oleh pemimpin pemerintahan propinsi.
2.2.2.
Penulis,
Tempat dan Penerima Surat Efesus
Penulis Surat Efesus
Masalah siapa yang menulis surat Efesus (ᴇπεσιους)
ini memperhadapkan pada perdebatan diantara para ahli PB. Pada permulaan
keKristenan orang beranggapan bahwa yang menulis surat Efesus adalah Paulus
sendiri. Fakta ini didukung dari beberapa pertimbangan, yaitu antara lain:
bahwa surat Efesus menggunakan gaya bahasa yang lazim digunakan Paulus, dan
bukti lain mengatakan bahwa tidak ada pengarang yang lain yang bisa menulis
seperti dalam surat Efesus selain Paulus.[28]
Namun pemahaman itu tidak bertahan lama, sebab para ahli terus mengadakan
penelitian diseputar surat Efesus tersebut. Hasil analisa para sarjana
menyimpulkan bahwa bukan Paulus yang menulis surat Efesus karena berdasarkan
beberapa hal, antara lain: bahasa yang dipergunakan dalam sejumlah kata yang
ditemukan dalam surat Efesus tidak dipakai dalam tulisan-tulisan Paulus
lainnya. Ini mencakup beberapa ciri penting, seperti acuan terhadap “sorga”
(Ef. 1:3, 1:20, 3:10, 6:12) yang merupakan istilah pokok dalam surat ini,
tetapi tidak pernah dipakai dalam surat Paulus lainnya.[29]
Walaupun para ahli tidak mencapai kata sepakat
mengenai siapa penulis surat Efesus apakah Paulus sendiri atau oranglain,
berdasarkan bukti-bukti yang ada itu hanyalah masalah-masalah yang tidak
terlalu penting sebab ada tema teologi dalam surat Efesus ini juga yang menjadi
tema utama dari pemikiran Paulus yakni mengenai pekerjaan Roh Kudus dan
kehidupan orang-orang Kristen. Menurut Barclay, walaupun terdapat perubahan
bahasa dan cara penulisan dalam surat Efesus itu tidak berarti bukan Paulus
yang menulis surat ini. Sebab menurutnya setiap pengarang dapat saja mengubah
bahasa dan alur cerita berdasarkan kebutuhan bagi orang-orang yang menjadi
tujuan surat ini. Jadi dapat dipastikan bahwa Rasul Paulus lah yang menulis
surat Efesus ini.[30]
Tempat Penulisan Surat
Efesus
Surat kepada jemaat Efesus, Kolose, dan Filemon
secara umum dikenal sebagai surat-surat penjara karena di dalam semua surat itu
Paulus menulis ketika ia sebagai seorang tahanan. Paulus menulis surat Efesus
dari penjara (3:1; 4:1) dan juga menyebutkan bahwa dia menyuruh Tikhikus
sebagai pembawa surat (6:21) demikian juga dengan surat Kolose (4:7), serta
surat Filemon (Flm. 1:24). Dalam Kisah Para Rasul 28:30-32; 23:23; 16:23, ada
tiga tempat yang disebut yakni Roma, Kaisarea, dan Filipi. Sementara itu Donald
memberikan kemungkinan satu tempat yakni Efesus, karena Paulus harus menghadapi
binatang buas di Efesus dalam arena (1 Kor. 15:32), serta penderitaan Paulus di
Asia kecil (2 Kor. 1:8). Di Efesus ada bangunan yang dikenal sebagai penjara
Paulus. A. Sherington Wood lebih memilih penjara di Roma sebagai tempat surat
ditulis berdasarkan pertimbangan disebutkannya pengawal istana dan keluarga
kaisar (Flp. 1:13; 4:22).[31]
Tenney juga berpendapat sama dengan Sherington
dengan alas an yang sama dan menambahkan bahwa penulis surat berada di bawah
pusat jalur perjalanan dan rekan-rekannya dapat datang dan pergi dengan
leluasa. Sehingga keadaan itu lebih menunjukkan di Roma daripada Kaisarea.[32]
Ahli lain seperti Albert mengatakan bahwa Paulus di duga berada di Roma sebagai
seorang terpenjara sebanyak dua kali dan telah menderita martir di Roma
kira-kira tahun 65 M.[33]
Penerima Kitab Efesus
Di dalam Ef. 1:1 dengan jelas surat ini ditujukan
kepada orang-orang kudus di Efesus. Akan tetapi naskah-naskah kuno (Vatikanus)
dan menurut para ahli pada abad III (Origenes, Tertulianus dan Basiledes) tidak
memuat kata di Efesus. Yang menjad pertanyaan sekarang, jika tidak dikirim ke
Efesus, kemanakah gerangan? Sebahagian ahli mengikuti jejak Marcion yang
berpendapat surat Efesus ini sebenarnya adalah surat Laodikia (Kol. 4:16).
Dengan dugaan lain, bahwa Paulus menulis dua surat. Menurut Duyverman, hipotesa
yang paling mendekati yang sebenarnya adalah Laodikia yang disebutkan dalam
Kolose itu adalah surat yang bersifat pribadi, dan kemudiannya hilang tidak
tahu kemana. Surat Efesus sekarang ini adalah surat edaran yang diperuntukkan
bagi jemaat-jemaat baru di Asia (Kis. 19:22, 26).[34]
Di samping naskah aslinya, maka Tikhikus membawa pola naskah-naskah salinannya
dan pada alamat tiap-tiap naskah diberi tempat kosong untuk diisi masing-masing
jemaat yang akan dikirim naskah itu. Patokan duga tersebut dikuatkan oleh
kenyataan bahwa surat ini tidak banyak menurut salam pribadi seperti
surat-surat Paulus lainnya, mengingat bahwa Paulus telah tinggal di Efesus
selama tiga tahun.[35]
Terhadap perbedaan-perbedaan di atas, penulis
menunjukkan bahwa surat Efesus adalah surat edaran kepada orang-orang Kristen
di Efesus dan sekitarnya. Sebagaimana juga dikatakan oleh Duyverman bahwa surat
Laodikia adalah surat yang hilang kemudian, sedangkan surat Efesus adalah surat
edaran yang diperuntukkan bagi
jemaat-jemaat baru di Asia. Namun di dalam Gereja mula-mula surat Efesus ini
biasanya dikenal dan dialamatkan kepada Efesus.[36]
2.3. Pendamaian dalam Surat
Efesus
Kata damai sejahtera yang diistilahkan dari bahasa
Yunani (eirene) dalam surat Efesus menunjuk pada situasi atau keadaan. Dalam cerita
penciptaan dikatakan manusia dan seluruh ciptaan mengalami damai sejahtera di
bumi tetapi pemberontakan manusia itu menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa
dan mengakibatkan damai sejahtera itu tidak dapat dialami lagi. Gagasan tentang
damai sejahtera juga kita jumpai dalam Kol. 1:20 “Ia memperdamaikan…”
ditempatkan berurutan dengan kalimat, “Ia mengadakan perdamaian…” dan keduanya
dihubungkan dengan darah salib Kristus. Dalam Ef. 2:14-17, digambarkan bahwa
hubungan antara pendamaian dan damai sejahtera erat sekali. Dalam teks ini
dikatakan bahwa Kristus sebagai ‘damai sejahtera kita’ (eirene emon) tidak
hanya karena Ia telah mempersatukan baik Yahudi maupun non Yahudi, tetapi juga
karena IA telah membuat keduanya menjadi satu, manusia baru dalam diriNya. Ia
telah menghancurkan kebencian diantara kita. Damai sejahtera itu tidak hanya
mencakup kedua pihak dari Yahudi dan non Yahudi tetapi juga supaya keduanya
menjadi satu roh untuk beroleh jalan kepada Bapa, mencakup damai sejahtera
dengan Allah.[37]
Perseteruan dan perpecahan sering
terjadi dalam interaksi manusia atara satu dengan yang lainnya demikian juga
halnya dengan orang-orang Kristen mula-mula, antara jemaat Yahudi dan non
Yahudi dan sering terjadi perbedaan
pandangan tentang perlunya sunat. Jadi Kristus dalam misi penyelamatanNya telah
mematahkan perselisihan dan perpisahan tersebut. Pendamaian Kristus mempunyai
makna bahwa keterpisahan dan perbedaan telah dipatahkan sehingga manusia berada
pada tahap “manusia baru”. Damai sejahtera yang Yesus Kristus lakukan tidak
hanya bersifat Horisontal, yakni supaya kedua belah pihak (Yahudi dan non
Yahudi) dapat hidup dalam suatu kemanusiaan yang baru, suatu kehidupan dalam
damai sejahtera. Tetapi juga bersifat Vertikal, yakni supaya manusia dapat
hidup dalam damai sejahtera dengan Allah. Allah telah mengalahkan kuasa-kuasa
jahat dalam dan melalui Kristus dan oleh karena itu Allah mendamaikan diriNya
dengan dunia. Peristiwa pendamaian dimulai dari atas dan turun kebawah. Kasih
pendamaian Allah tidak tergantung pada syarat yang bersifat manusiawi,
melainkan bersifat tanpa syarat dan mutlak. Allah tidak perlu didamaikan,
melainkan Allah-lah yang mendamaikan (2Kor 5:18-19).[38]
ketika manusia berdamai dengan Allahdengan sendirinya manusia hidup dalam damai
sejahtera. Makna pendamaian telah memberikan rasa ‘damai sejahtera’ bagi
manusia itu sendiri. Berlawanan dengan keadaan ketika Adam dan Hawa melanggar
perintah Allah ditaman Eden, dimana kehadiran Allah menjadi ketakutan bagi
mereka, mereka mau bersembunyi dari Allah. (Kej. 3:8)
Kristus adalah damai yang juga
menghasilkan kedamaian dengan mempersatukan orang Yahudi dan orang yang bukan
Yahudi. Ia melakukan ini dengan menghancurkan tembok penghalang permusuhan yang
memisahkan mereka, yaitu melalui kematianNya, Ia membatalkan hukum dengan
segala perintah-perintah dan peraturan-peraturannya sebagai hal yang
menentukan. Tujuan dari melakukan itu adalh untuk menciptakan ciptaan baru
dalam diriNya dari dua kelompok, Yahudi dan bangsa lain. Dengan cara demikian ,
melalui salib, ia mendamaikan keduanya kepada Allah dalam satu tubuh, dengan
menghilangkan permusuhan diantara mereka. Tubuh yang satu ini merupakan sebuah
istilah yang menunjuk baik kepada tubuhNya, gereja, yang terdiri dari bangsa
Yahudi dan bangsa lain. Maka dari itu, dengan kedatanganNya dan dengan
tindakanNya, Ia memaklumkan kedamaian baik kepada bangsa Yahudi yang dekat dan
kepada bangsa lain yang berada jauh . akibatnya, keduanya dapat mendekati Bapa
dalam satu Roh ; Roh yang berkarya dalam tubuh Kristus, aktif juga dalam
Gereja.[39]
III.
Kesimpulan
IV.
Daftar
Pustaka
Abbot T. K., A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle the Ephesians and
to the Colossians in The International Critical Commentary, ed. S.R.
Driver, dkk, Edinburgh: T & T Clark, 1964
Abd A’la, Melampaui
Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002
Barclay William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Galatia-Efesus, Jakarta: BPK-GM,
1985
Barnest Abert, Ephesians, Fhilipians, Colossians in Notes on The Testament: ex
Planatory and Partical, ed. Robert Frew, Grand Rapids Michigan: Baker Book
House X, 1950
Bavinck J. H., Sejarah Kerajaan Allah 2, Jakarta: BPK-GM, 1990
Becker Dieter, Pedoman dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2001
Benyamin Samuel, Damai Itu Meneduhkan, Bandung: Jurnal Info Media, 2006
Bergant Dianne
(ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta:
Kanisius, 2009
Bruce F.F., Tyndale New Testament Commentaries, Michigan: Wm. Eerdmans
Publishing Company, Grand Rapids, 1987
Butrick George Arthur (ed), The Interpreters Dictionary Of The Bible Vol
4, R-Z, Nashville: Abingdon Press, 1962
Chapman Adina, Pengantar Perjanjia Baru, Bandung: Kalam Hidup, 1993
Choeldahono
Novembri, Gereja, Lembaga Pelayanan
Kristen dan Diakonia Transformatif dalam Agama dalam Praksis, Th. Kobong,
dkk (Ed.), Jakarta: BPK-GM, 2003
D Rahlfs, Septuaginta, Stuttrgart: Deutsche Bible Gesellscaft, 1979
Darmaputera
Eka, Kebangkitan Agama dan Keruntuhan
Etika dalam Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, Tim Balitbang
PGI (Peny.), Jakarta: BPK-GM, 2007
Douglas J.D. (Peny.) Ensiklopedi Alkitab MAsa Kini, Jilid I, A-L,
Jakarta: YKBK/OMF, 1992
Drane John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1996
Drane John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 2008
Duyverman M. E., Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1981
Foulkes Francis, Tyndale New Testament Commentaries Ephesians, Grand Rapids,
Michigan: Intervarsity Press, 1983
Goppelt Leonard., Theology Of The New
Testament, Vol. 2, Michigan: Wm. B. Eerdmans, 1982
Groenen C., Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Horowith Edward N., Salib Kristus, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2004
Jacobs Tom, Paulus, Hidup, Karya dan Teologi, Jakarta: BPK-GM & Kanisius,
1983
Ladd George Eldon, Theologi Perjanjian BAru, jilid 2, Bandung: Kalam Hidup, 1993
Malley, Penuntun Ke dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1979
Muholland, In New Testament Critism and Interpretation, Michigan: Zondervan
Publishing House, 1985
Peterson Robert. M., Tafsiran Alkitab, Imamat, Jakarta:
BPK-GM, 1994
Poerwadarminta W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1976
Saragih
Jon Renis, Radikalisme Agama: Antara
Kekerasan dan Perdamaian dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda
Medan Edisi XXII Juli-Desember 2009
Sizoo, Dari Dunia Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1972
Stoot John, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/OMF, 1995
Tanja
Victor I., Spiritualitas, Pluralitas dan
Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1996
Tenney Merill C., Survey Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 2003
Wood A. Sherington, Ephesians, In NIV Bible Commentary, ed. Kenneth Baker and Verlyn D.
Verbrugge, Michigan: Zondervan Publishing House, 1994
Yewangoe
A. A., Agama dan Kerukunan, Jakarta:
BPK-GM, 2009
Yewangoe A.A., Theologia Crucis di Asia, Jakarta: BPK-GM, 1989
[1] W.J.S Poerwadarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1976, hlm. 224
[2] A. A. Yewangoe, Agama dan
Kerukunan, Jakarta :
BPK-GM, 2009, hlm. 152
[3] Abd A’la, Melampaui Dialog Agama,
Jakarta :
Penerbit Buku Kompas, 2002, hlm. 11
[4] Eka Darmaputera, Kebangkitan
Agama dan Keruntuhan Etika dalam Meretas Jalan Teologi Agama-agama di
Indonesia, Tim Balitbang PGI (Peny.), Jakarta :
BPK-GM, 2007, hlm.69-70
[5] Jon Renis Saragih, Radikalisme
Agama: Antara Kekerasan dan Perdamaian dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT
Abdi Sabda Medan Edisi XXII Juli-Desember 2009, hlm. 36
[6] Victor I. Tanja, Spiritualitas,
Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta : BPK-GM, 1996, hlm. 73
[7] Novembri Choeldahono, Gereja,
Lembaga Pelayanan Kristen dan Diakonia Transformatif dalam Agama dalam
Praksis, Th. Kobong, dkk (Ed.), Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 58
[8] Robert. M. Peterson, Tafsiran Alkitab, Imamat, Jakarta:
BPK-GM, 1994, hlm. 32-33
[9] George Arthur Butrick
(ed), The Interpreters Dictionary Of The
Bible Vol 4, R-Z, Nashville: Abingdon Press, 1962, pg. 16-17
[10] J.D. Douglas (Peny.) Ensiklopedi Alkitab MAsa Kini, Jilid I, A-L,
Jakarta: YKBK/OMF, 1992, hlm. 226
[11] Rahlfs D, Septuaginta, Stuttrgart: Deutsche Bible Gesellscaft,
1979, p. 570-578
[12] Leonard. Goppelt,
Theology Of The New Testament, Vol. 2, Michigan: Wm. B. Eerdmans, 1982, pg.
138-139
[13] George Eldon Ladd, Theologi Perjanjian BAru, jilid 2, Bandung:
Kalam Hidup, 1993, hlm. 206
[14] Ibid., hlm. 208
[15] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, Jakarta:
BPK-GM, 1989, hlm. 70
[16] Tom Jacobs, Paulus, Hidup, Karya dan Teologi, Jakarta:
BPK-GM & Kanisius, 1983, hlm. 147-150
[17] Edward N. Horowith, Salib Kristus, Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2004, hlm. 128-129
[18] F.F. Bruce, Tyndale New Testament Commentaries, Michigan:
Wm. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, 1987, pg. 102
[19] John Stoot, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/OMF, 1995,
hlm. 401
[20] C.Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta:
Kanisius, 1984, hlm. 289
[21] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta:
BPK-GM, 1996, hlm. 346
[22] Adina Chapman, Pengantar Perjanjia Baru, Bandung: Kalam
Hidup, 1993, hlm. 83
[23] Merill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, Malang: Gandum
Mas, 2003, hlm. 363
[24] Muholland, In New Testament Critism and Interpretation,
Michigan: Zondervan Publishing House, 1985, pg. 310
[25] J.D. Douglas, Op.Cit., hlm. 267-268
[26] Merill C. Tenney., Op.Cit., hlm. 16-17
[27] Sizoo, Dari Dunia Perjanjian Baru, Jakarta:
BPK-GM, 1972, hlm. 177
[28] Ibid., 228
[29] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, 388
[30] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari,
Galatia-Efesus, Jakarta: BPK-GM, 1985, hlm. 96
[31] A. Sherington Wood, Ephesians, In NIV Bible Commentary, ed.
Kenneth Baker and Verlyn D. Verbrugge, Michigan: Zondervan Publishing House,
1994, pg. 473
[32] Merill C. Tenney., Op.Cit., hlm. 398
[33] Abert Barnest, Ephesians, Fhilipians, Colossians in Notes
on The Testament: ex Planatory and Partical, ed. Robert Frew, Grand Rapids
Michigan: Baker Book House X, 1950, pg. 125
[34] M. E. Duyverman, Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru,
Jakarta: BPK-GM, 1981, hlm. 106, bnd. Francis Foulkes, Tyndale New Testament Commentaries Ephesians, Grand Rapids,
Michigan: Intervarsity Press, 1983, pg. 23
[35] Malley, Penuntun Ke dalam Perjanjian Baru,
Yogyakarta: Kanisius, 1979, hlm. 231 ; John Drane, Op. Cit, hlm. 385
[36] T. K. Abbot, A Critical and Exegetical Commentary on the
Epistle the Ephesians and to the Colossians in The International Critical
Commentary, ed. S.R. Driver, dkk, Edinburgh: T & T Clark, 1964, pg.11,
bnd. J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan
Allah 2, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm. 890-891
[37] Samuel Benyamin, Damai Itu Meneduhkan, Bandung: Jurnal
Info Media, 2006, hlm. 79
[38] Dieter Becker, Pedoman dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2001,
hlm. 131
[39] Dianne Bergant (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta:
Kanisius, 2009, hlm. 345
Tidak ada komentar:
Posting Komentar