Kamis, 11 Oktober 2018

Pendamaian dari Surat Efesus


Pendamaian dalam surat Efesus
I.                   Pengantar
Perbedaan dan kekerasan sering terjadi dalam kehidupan manusia, bukan saja pada saat ini, bahkan juga mulai sejak zaman gereja mula-mula, perbedaan dan kekerasan sering terjadi. Perbedaan sebenarnya adalah sebuah hal yang indah jika kita mampu melihat perbedaan itu sebagai pemersatu. Namun pada kenyataannya, perbedaan sering menjadi pemicu kekerasan bahkan sikap apatis bagi beberapa kelompok. Hal ini juga terjadi pada jemaat di Efesus, adanya perselisihan akibat perbedaan. Sehingga tidak tercipta perdamaian. Namun dengan kedatangan Paulus yang menjelaskan arti kematian Yesus, bahwa dengan kematiaanNya, Ia telah memperdamaikan umatNya, bagaimanakah cara Paulus menjelaskan hal tersebut, semoga materi ini dapat memberikan kita jawaban atas hal tersebut.
II.                Pembahasan
2.1. Pendamaian
2.1.1.      Pengertian Pendamaian
Dalam KBBI, kata ‘damai’ diartikan suatu keadaan yang tak bermusuhan, tak ada perselisihan, berbaik kembali, tenteram dan aman. Poerwadarminta mengatakan bahwa kata ‘damai’ menyangkut berbagai aspek hidup, misalnya dalam keluarga, masyarakat, Negara, dan lain-lain. Sedangkan kata mendamaikan adalah merupakan bentuk  kata benda, yang berasal dari kata dasar ‘damai’ ditambah dengan awalan ‘men’ dan akhiran ‘an’. Dalam penambahan imbuhan tersebut kata mendamaikan menjadi suatu kata yang didalamnya terdapat unsure kesengajaan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, yakni membuat supaya damai, membuat supaya tidak berseteru atau bermusuh, dan lain-lain. Jadi kesimpulannya, mendamaikan berarti menyelesaikan suatu permusuhan supaya kedua belah pihak berbaik kembali.[1]
Secara normatif, telah tersedia sejumlah petunjuk bagaimana seharusnya umat beragama menyelenggarakan keadilan dan perdamaian. Masalahnya adalah bahwa justru hal itu yang tidak terjadi. Pada aras praksis kita memang selalu menghadapi hal yang berbeda dengan yang diidealkan. Dalam kaitan dengan hal itu, beberapa fakta dapat diangkat.
  1. Umat beragama sendiri menyelewengkan ajaran-ajaran agama demi tujuan mereka sendiri. Mereka menafsirkan keadilan dan perdamaian sedemikian rupa sehingga berorientasi pada tujuan mereka sendiri.
  2. Agama diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan tertentu yang tidak luhur, misalnya demi mencapai kekuasaan. Ajaran-ajaran agama yang luhur mengenai keadilan dan perdamaian dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menjadi sempit dan picik.
  3. Watak ajaran agama yang bersifat memperbudak ditonjolkan sedemikian rupa sehingga agama sungguh-sungguh menampilkan wajah yang kejam. Allah ditampilkan sebagai Allah yang siap menghukum, padahal Dia adalah Allah yang mengasihi.[2]
Sebagai penuntun kehidupan umat manusia, agama pada prinsipnya terdiri dari nilai-nilai yang mencerminkan kepedulian tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan karena itu agama menolak segala bentuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Dalam tataran ajaran, agama manapun sangat menekankan kehidupan yang penuh kedamaian dan sejenisnya, serta melarang segala bentuk kekerasan.[3]
Menurut Eka Darma Putera, menekankan bahwa agama mempunyai dimensi dalam perwujudannya: dimensi mitos, dimensi ritus dan dimensi etis. Dimensi mitos memberi pegangan mengenai apa yang harus dipercayai. Dimensi ritus adalah dimensi di mana orang mengekspresikan apa yang ia percayai. Dan akhirnya dimensi etis adalah di mana orang mengaktualisasikan apa yang dipercayainya itu di dalam kehidupan praktis.
Pada dimensi inilah, agama mempunyai nilai praksis. agama-agama bila mau berfungsi, harus bersiteguh hati menerobos kebekuan dogmatisme dan ritualismenya, dan mulai menaruh perhatian yang amat serius terhadap tantangan-tantangan etis. Ketika  agama-agama secara sendiri-sendiri menyadari tantangan-tantangan etis ini, ia akan menyadari bahwa tantangan-tantangan etis ini adalah tantangan-tantangan bersama. Masalah-masalah etis mendasar yang sedang kita hadapi semuanya adalah masalah-masalah bersifat “lintas agama”. Masalah-masalah yang menyangkut kemiskinan, ketidakadilan, kebebasan, HAM, demokrasi, lingkungan hidup, kesenjangan sosial dan sebagainya adalah masalah-masalah yang tidak membeda-bedakan agama. Dan sesungguhnya kekuatan-kekuatan yang memiskinkan, menindas, yang menimbulkan rasa takut, yang merampas hak-hak asasi manusia, kekuatan yang merusak alam ciptaan, keserakahan dan kerakusan akan kuasa dan kebendaan dan sebagainya itu, itulah personifikasi dari kekuatan demonis abad ini. Kekuatan-kekuatan itu adalah setan, atau iblis dalam arti yang seriil-riilnya. Musuh agama bukanlah agama lain, melainkan setan-setan  itu.[4]
Jika sumber-sumber agama dilihat, dapat disebutkan bahwa semua agama bersikap kritis dalam penggunaan kekerasan. Taoisme dan Konfucianisme memiliki apa yang disebut sebagai golden rule: “apa yang tidak ingin dilakukan kepadamu, jangan lakukan kepada orang lain”. Ini bukan sekedar soal perasaan saja yang kemudian menjadi relatif, tetapi hal ini merupakan seruan untuk mengatasi kekerasan. Brahmanisme Hindu dan Budha jelas memiliki ajaran ahimsa, doktrin untuk melampaui segala bentuk kekerasan, karena penyebab segala perilaku buruk adalah ahimsa. Mahatma Gandhi sepanjang hidupnya menaruh perhatian besar pada ahimsa ini. Budha menyerukan toleransi dan menetapkan larangan tanpa syarat untuk membunuh. Kebaikan budi, simpati, merasakan kesenangan dan kedamaian merupakan empat budi utama yang harus ditanamkan dalam semua perilaku. Islam sebagai agama damai selalu didengang-dengungkan sebagai hakikat dari keislaman. Dalam istilah Islam saja sudah berarti kepatuhan yang di dalamnya ada pengabdian, ketaatan. Juga dalam agama Kristen, jelas sekali bahwa panggilan damai dengan mengasihi sesama menjadi perhatian penting dari kitab suci.
            Tidak diragukan bahwa agama berperan penting dalam penciptaan masyarakat yang damai. Perdamaian dapat diartikan sebagai tidak adanya atau berkurangnya segala jenis kekerasan dan juga transformasi konflik kreatif non-kekerasan, sehingga kerja perdamaian adalah upaya mengatasi kekerasan dengan cara damai.[5] Dengan demikian, agama menjadi sebuah komitmen terdalam bagi manusia untuk mencapai harmoni dan perdamaian bagi manusia pada masa kini dan mendatang di mana yang menjadi penekanan di sini bahwa peranan agama bukanlah terutama melestarikan nilai-nilai tradisional, tetapi berperan lebih sebagai suatu kekuatan transformatif.[6] Dengan memainkan fungsi transformatifnya, agama tidak lagi dirasakan sebagai kekuatan yang melakukan dehumanisasi manusia dan kebudayaan, melainkan sebagai kekuatan konstruktif dan kritis. Ia akan memilik vitalitas transformatifnya lagi sehingga mampu melakukan rekonstruksi sosial menuju kepada pembangunan sosial yang ideal bagi umat manusia yang berkeadilan dan beradab.[7]
2.1.2.      Pendamaian dalam PL
Pendamaian dalam PL diperoleh dengan mengadakan atau melaksanakan korban-korban dan ada kaitannya tentang “darah pendamaian”. Allah telah berkata, “Aku telah memberikan darah itu kepadamu diatas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu” (Im. 17:11). Kata kerja bahasa Ibrani untuk ‘mendamaikan’ adalah Lekapper, yang berarti meliputi. Kata ini dipakai dengan beberapa cara dalam hubungan dengan pendamaian, kadang-kadang Allah adalah subyek, kadang-kadang Allah manusia atau persembahannya (korban bakaran) yang menjadi subyek.[8] Jadi persembahan pendamaian memainkan peranan penting dalam kultus. Bagi bangsa Israel kultus dimaksudkan untuk memelihara persekutuan antara Allah dengan manusia, supaya tetap murni. Kultus merupakan alat berintegrasinya persekutuan Allah dengan manusia yang Allah sudah tetapkan didalam perjanjianNya. Dapat juga disebutkan dengan melaksanakan kultus sudah tiba pada proses pendamaian.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa terjadinya pendamaian adalah karena renggangnya hubungan manusia dengan Pencipta. Hal ini jelas digambarkan dalam kejadian 3, dimana laki-laki dan perempuan, setelah kedapatan atau ketahuan oleh Allah melakukan penyimpangan dari PerintahNya, mereka menjadi takut dihadapan Allah. Mereka sadar bahwa Allah mengetahui manusia itu tidak patuh kepada Allah.[9] Akibat ketidaktaatan manusia kepada Allah, maka manusia akan binasa. Tetapi Allah telah berjanji untuk tidak membinasakan umatNya dari bumi yang telah diciptakanNya, karena itu, Allah mendamaikan manusia dengan diriNya sendiri, supaya manusia bebas dari maut. Jadi pendamaian dalam PL itu harus dijawab (oleh bangsa Israel) dengan korban-korbannya sebagai tanda bahwa mereka berada didalam perjanjian dengan Allah.
Pendamaian tersebut dilatarbelakangi oleh:
1.      Dosa yang ada pada manusia bersifat universal (1 Raja 8:46 ; Mzm 14:3)
2.      Bobot dari dosa tersebut sudah amat berat (Hab 1:13 ; Yes 59:2)
3.      Manusia sudah tidak mampu lagi untuk mengatasinya (Bil 32:23 , 20:9)[10]
Korban yang mau dipersembahkantidak boleh tercela, perlu adanya kesempurnaan, pendamaian tidak murah dan mudah karena bobot dosa sangat berat. Kematian korban adalah segi yang sangat penting dari pengorbanan itu. Hal itu terungkap sebagian dalam kiasan ‘darah’, sebagian dalam sifat umum upacara pengorbanan itu. Untuk itulah Kristus, Anak Allah datang kedunia untuk menyelamatkan manusia.
2.1.3.      Pendamaian dalam PB
Untuk mengungkapkan gagasan tentang pendamaian dalam Perjanjian baru digunakan kata “καταλλασσω” (Katallasso). Dan yang serumpun dengannya sangat sedikit digunakan dalam Septuaginta (LXX). Akar kata hanya muncul sekali dalam Yeremia 31:39 (καταλλαζην) dan artinya disitu bukanlah ‘pendamaian’ melainkan ‘perubahan’. Kata yang lain yaitu dalam Yesaya 9:5 (LXX), ‘ειρηνην’ dan 1 Samuel 29:4 (LXX), ‘κατεστησας’, tetapi hanya kata eirenen itulah yang benar-benar menunjuk pada pendamaian dua orang.[11] Dalam Yudaisme mula-mula, gagasan pendamaian dipakai untuk menunjukkan keinsafan bahwa manusia harus diperdamaikan satu kepada yang lain sebelum dapat berdamai dengan Allah. Sedangkan dalam dunia Hellenis, kata kerja “kattalessein dan diallassein” juga diartikan sebagai “mendamaikan”. Tetapi hamper tidak pernah dipakai untuk menyatakan hubungan antara Allah dan manusia.[12]
Kemungkinan karena inilah Paulus sering menggunakan istilah “kattalessein” (mendamaikan) dalam bentuk infinitive, yang artinya menunjukkan “hubungan antara Allah dengan manusia”. Dan kata ini sering dihubungkan dengan kata “diallassein” (Mat. 5:24). Kedua kata ini sama-sama menunjukkan arti penyelesaian antara dua belah pihak melalui suatu pekerjaan yang hebat, yang tidak ditemukan didunia ini. Dalam kesusasteraan orang Kristen, pada abad I, kata ini hanya didapatkan dalam surat Paulus, yang diartikan sebagai pekerjaan Paulus. Allah yang telah berjanji dalam FirmanNya kepada manusia (bangsa Israel) akan menanggapinya dengan cara menciptakan suatu hubungan baru. Untuk mencapai hal ini, Allah telah menjadi manusia. Dengan cara inilah kita dapat berbicara tentang pendamaian diantara Allah dan manusia. Jadi pendamaian dalam PB itu adalah karya yang telah dilakukan oleh Kristus untuk mengatasi keterasingan manusia dari Allah sebagai wujud dari kasih Allah kepada manusia. Allah tidak butuh pendamaian dari manusia, tetapi Ia mengambil prakarsa bagi pendamaian dan manusia atau dunia menjadi obyeknya sebab Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus (2Kor 5:19), kita diperdamaikan dengan Allah oleh kematian anakNya (Rm. 5:10).[13]
Sebab hanya melalui Kristus, pelanggaran yang terjadi dibawah perjanjian pertama memperoleh penebusan (Ibr. 9:15). Pendamaian terlaksana oleh kematian itu, jadi pendamaian adalah pemberian yang harus diterima  (Rm. 5:11). Hal itu berasal dari Allah dan diberikan kepada manusia dal tersebut secara langsung atau tidak langsung bukan merupakan perbuatan manusia itu sendiri. Allah dalam Kristus telah mendamaikan manusia dengan diriNya dan telah memberikan kepada para Rasul pelayanan pendamaian itu. Allah telah mengaruniakan kepada manusia berita yang harus disampaikan kepada sesamanya, berita itu adalah bahwa pendamaian itu telah terlaksana. Hal itu merupakan proklamasi bahwa Allah telah melakukan sesuatu bagi manusia. Berdasarkan karya yang telah selesai ini, maka Paulus menasihati manusia agar diperdamaikan dengan Allah. Manusia harus menunjukkan ketaatan yang penuh kasih kepada Allah yang mengasihi. Jadi karya pendamaian dalam pengertian PB adalah karya yang telah selesai, dan kita harus menerimanya  sebagai karya yang sudah selesai sebelum injil itu diberitakan.[14]
Pendamaian (ειρηνη) dalam Perjanjian Baru
1.      Ειρηνη dalam pengertian yang luas atas banyak pemikiran
2.      Ειρηνη sebagai keselamatan eskatologi bagi semua orang
3.      Ειρηνη sebagai pendamaian dengan Allah
4.      Ειρηνη sebagai pendamaian seorang terhadap manusia yang lain
5.      Ειρηνη sebagai pendamaian dari jiwa


2.1.4.      Pendamaian dan Salib Kristus
Pendamaian Allah didalam Yesus Kristus tidak terlepas dari Salib Kristus, Salib merupakan lambing penderitaan dan kematian Yesus Kristus, salib menandakan tempat dimana manusia yang berdosa berjumpa dengan Allah. Salib berdiri dimana arus kehidupan manusia keruh dan arus kasih karunia ilahi yang tidak henti-hentinya berjumpa untuk ditransformasikan oleh kepribadian Yesus. Dengan salib Kristus, dosa manusia dihapuskan dan orang-orang berdosa diperbaharui (adanya pengampunan dan pembaruan).[15] Salib adalah inti iman, tanpa salib keselamatan manusia tidak akan pernah menjadi kenyataan. Salib atau kasih penebusan Allah terungkap dalam Yesus dan merupakan dinamika sentral dari seluruh sejarah. Semuanya ini terjadi antara lain karena perbuatan yang mendamaikan. Sementara Paulus menyebutkan bahwa salib Kristus merupakan kekuatan, kemenangan, kemegahan, dan hikmat Allah.[16]
            Bagi umat Allah, salib berarti kebebasan, manusia telah menjadi budak dosa, namun melalui kematian Kristus kita telah dibebaskan untuk menjadi abdi Kristus dengan sukacita. Salib mencipta perbedaan antara penghambatan dalam kehidupan lama dengan kemerdekaan dalam ketaatan. Kemerdekaan disini maksudnya kebebasan anak-anak Allah yang dimotivasi oleh kasih bukan oleh hukum.[17] Adapun makna salib Kristus bagi kita adalah agar kita bisa hidup melalui diriNya, agar kita bisa hidup demi diriNya dan agar kita bisa hidup bersama diriNya. Karya Allah dalam diri Yesus dinyatakan dalam terang salib dan kebangkitaNya. Dengan salib Kristus, Ia telah memperdamaikan kita dengan diriNya sendiri (2 Kor 5:19). Hasil karya pendamaian Kristus adalah bahwa sekarang kita beroleh jalan masuk kepada Bapa dalam satu Roh (Ef. 2:18). Kematian Kristus mengacu kepada pengorbanan kudus, yang melukiskan pelayanan Kristus yang telah melakukan penyucian dosa (Rm. 5:8-9). Sehubungan dengan hal itu , Paulus juga menekankan bahwa pelayanan Kristus telah memberi gambaran kebenaran (Justification), penebusan dari perbudakan (Redemption), persembahan korban penebusan dialtar  dan pendamaian (Reconciliation) untuk melanjutkan keadilan Allah yang penuh dalam Kristus melalui kasih karuniaNya.[18] Tujuan Allah melalui karya Anak dan RohNya adalah menciptakan suatu masyarakat yang telah diperdamaikan, yang tidak ditolerir lagi oleh tembok pemisah atau penyekat-penyekat lain, dan dalam pengaruh ras, nasionalisme, kedudukan dan perbedaan gender yang cenderung memecah belah.[19]
2.2. Pengantar ke dalam surat Efesus
2.2.1.      Sits Im Leben
1.      Geografis
Kota Efesus merupakan sebuah kota yang cukup besar, subur di Asia, yang sekarang hanya tersisa puing-puingnya saja dinegeri Turki. Dizaman PB, kota Efesus terletak dipantai laut tengah menjadi ibukota provinsi Asia.[20] Tempat ini merupakan pusat dimana PAulus dengan mudah dapat mengadakan hubungan melalui darat atu laut dengan jemaat-jemaat baru yang telah didirikannya di Asia Kecil dan di Eropah. Kota ini juga merupakan pusat dimana ia dan rekan-rekannya  dapat pergi keseluruh provinsi Asia.[21] Sementara Adina menyebutkan kota Efesus merupakan kota yang termaju dan yang terkenal sebagai pusat perniagaan diprovinsi itu. Jalan raya dari Timur ke Barat melintasi Efesus, sehingga boleh dikatakan di Efesus, Timur dan Barat bertemu. Bahasa Yunani menjadibahasa pengantar dan kebudayaan Yunani berkembang pesat dikota itu.[22]
2.      Politik
Bangsa Romawi memasuki kota  Efesus bukanlah melalui peperangan. Romawi menggolongkan dua bentuk pemerintahan atas daerah jajahannya, yakni daerah yang rawan (memberontak), pemerintahannya langsung dibawah kaisar dengan menempatkan perwakilannya, sedangkan daerah yang dinilai cukup damai dan setia, pemerintahannya diserahkan kepada Gubernur-gubernur propinsi. Efesus digolongkan kepada bentuk yang kedua dimana mereka sebagai Ibu kota provinsi Asia bebas menjalankan pemerintahan sendiri. System pemerintahan kekuasaan dipegang oleh siding rakyat yang diselenggarakan secara resmi (Kis. 19:39), sedangkan para pemimpin atau senat kota itu berfungsi sebagai pembuat undang-undang. Sekretaris kota atau panitera kota adalah pejabat yang bertanggung jawab, ia bertugas memelihara pengakuan dan mengajukan kesalahan kepada sidang rakyat.[23] Namun walaupun bebas melakukan pemerintahan sendiri, sistemnya selalu mengikuti pola Romawi didalam segala bidang kehidupan baik politik, social ekonomi, maupun kepercayaan atau budaya. Apapun yang dilakukan Romawi, jajahan akan mengikutinya supaya tidak dianggap memberontak.[24]
            Memang tidak ada data yang autentik menjelaskan tentang historis perpolitikan dikota efesus ini, hanya saja pada tahun 560 SM, efesus ditaklukan oleh Krusus, dan sebagian dari kemegahan seni efesus (gedung teater, tempat pemandian, perpustakaan, dll) dihari kemudian dikatakan adalah berkat kemurahan hati raja itu. Efesus ditaklukan oleh orang Persia  tahun 557 SM, dan sesudah itu sejarahnya beraneka ragam sampai 133 SM, tatkala kota itu merupakan bagian dari kerajaan Perganum, yang diwariskan oleh Raja Atalus II kepada Roma.[25] Paulus dalam perjalanan penginjilannya yang ketiga yaitu kekota efesus pernah tinggal lebih dari dua tahun (Kis. 19:8-10 , 20:31), hal ini karena tertarik oleh keutamaan Efesus yang strategis sebagai pusat perdagangan, politik, dan agama.
3.      Ekonomi
Sehubungan dengan letak geografis diatas, maka dapat disimpukan bahwa kehidupan ekonomi kota efesus adalah tergolong makmur. Diberbagai-bagai tempat didirikan patung-patung, gapura-gapura kemenangan, gedung-gedung perpustakaan, dan jalan-jalan yang baru bersimpang siur. Kota Efesus merupakan kota pelabuhan, hal ini tentu akan meningkatkan pendapatan Negara dan kota Efesus sudah memiliki mata uang yang mempunyai tulisan ukir Diana Ephesia (Kis 19:34), jadi pada masa kemegahan kota Efesuslah, Paulus datang ke kota Efesus.[26]
4.      Agama
Dikekaisaran Romawi khususnya didunia Hellenis, walaupun sebenarnya sesat, namun mereka sangat mengindahkan agama (Kis 17:22, tentang orang Athena dimata Paulus sebagai orang yang beribadah kepada dewa-dewa). Orang berhasrat mencari Allah dengan menempuh berbagai-bagai jalan. Konteks religious adalah yang tidak boleh dilupakan dalam kritik sosiologis, karena justru agama adalah yang selalu dijumpai para Rasul pembawa Injil dalam menunaikan tugas mereka setiap hari adalah agama kafir dan agama Kristen. Mengenai agama kafir, sifat dan praktek agama Yunani mempengaruhi dunia Hellenis digambarkan oleh Sizzo, sebagai berikut: agama Yunani Hellenis tumbuh dari pemujaan kodrat alam, mis. : Matahari, bulan, guruh dan petir, bumi, laut, sungai, dan segala kejadian dan kekuatan alam, dipandang sebagai ilah. Setiap kota mendapat dewa perlindungan yang dipuja dengan usaha dan biaya pemerintah. Begitu berjumpa dengan dewa-dewa yang disembah oleh penduduk asli, maka disana dilakukan percampuran dengan dewa mereka sendiri, sehingga beberapa daerah mempunyai sifat yang berlainan.[27]
Mengenai agama Kristen, di Efesus berkembang juga agama Kristen, namun agama Kristen juga merupakan persoalan, dimana kelangsungan ajaran Yohanes Pembaptis dipertanyakan setelah Yohanes Pembaptis wafat. Sementara murud-muridnya masih aktif. Kehadiran Paulus yang membawa agama Kristen, menolak sinkretisme dan menentang ibadah kepada kaisar menjadi perlawanan dari phak agama yang sudah mapan. Jadi dapat disimpulkan situasi keberagaman dikota Efesus beragam-ragam ditambah lagi kebebasan yang diberikan oleh pemimpin pemerintahan propinsi.
2.2.2.      Penulis, Tempat dan Penerima Surat Efesus
Penulis Surat Efesus
Masalah siapa yang menulis surat Efesus (ᴇπεσιους) ini memperhadapkan pada perdebatan diantara para ahli PB. Pada permulaan keKristenan orang beranggapan bahwa yang menulis surat Efesus adalah Paulus sendiri. Fakta ini didukung dari beberapa pertimbangan, yaitu antara lain: bahwa surat Efesus menggunakan gaya bahasa yang lazim digunakan Paulus, dan bukti lain mengatakan bahwa tidak ada pengarang yang lain yang bisa menulis seperti dalam surat Efesus selain Paulus.[28] Namun pemahaman itu tidak bertahan lama, sebab para ahli terus mengadakan penelitian diseputar surat Efesus tersebut. Hasil analisa para sarjana menyimpulkan bahwa bukan Paulus yang menulis surat Efesus karena berdasarkan beberapa hal, antara lain: bahasa yang dipergunakan dalam sejumlah kata yang ditemukan dalam surat Efesus tidak dipakai dalam tulisan-tulisan Paulus lainnya. Ini mencakup beberapa ciri penting, seperti acuan terhadap “sorga” (Ef. 1:3, 1:20, 3:10, 6:12) yang merupakan istilah pokok dalam surat ini, tetapi tidak pernah dipakai dalam surat Paulus lainnya.[29]
Walaupun para ahli tidak mencapai kata sepakat mengenai siapa penulis surat Efesus apakah Paulus sendiri atau oranglain, berdasarkan bukti-bukti yang ada itu hanyalah masalah-masalah yang tidak terlalu penting sebab ada tema teologi dalam surat Efesus ini juga yang menjadi tema utama dari pemikiran Paulus yakni mengenai pekerjaan Roh Kudus dan kehidupan orang-orang Kristen. Menurut Barclay, walaupun terdapat perubahan bahasa dan cara penulisan dalam surat Efesus itu tidak berarti bukan Paulus yang menulis surat ini. Sebab menurutnya setiap pengarang dapat saja mengubah bahasa dan alur cerita berdasarkan kebutuhan bagi orang-orang yang menjadi tujuan surat ini. Jadi dapat dipastikan bahwa Rasul Paulus lah yang menulis surat Efesus ini.[30]
Tempat Penulisan Surat Efesus
Surat kepada jemaat Efesus, Kolose, dan Filemon secara umum dikenal sebagai surat-surat penjara karena di dalam semua surat itu Paulus menulis ketika ia sebagai seorang tahanan. Paulus menulis surat Efesus dari penjara (3:1; 4:1) dan juga menyebutkan bahwa dia menyuruh Tikhikus sebagai pembawa surat (6:21) demikian juga dengan surat Kolose (4:7), serta surat Filemon (Flm. 1:24). Dalam Kisah Para Rasul 28:30-32; 23:23; 16:23, ada tiga tempat yang disebut yakni Roma, Kaisarea, dan Filipi. Sementara itu Donald memberikan kemungkinan satu tempat yakni Efesus, karena Paulus harus menghadapi binatang buas di Efesus dalam arena (1 Kor. 15:32), serta penderitaan Paulus di Asia kecil (2 Kor. 1:8). Di Efesus ada bangunan yang dikenal sebagai penjara Paulus. A. Sherington Wood lebih memilih penjara di Roma sebagai tempat surat ditulis berdasarkan pertimbangan disebutkannya pengawal istana dan keluarga kaisar (Flp. 1:13; 4:22).[31]
Tenney juga berpendapat sama dengan Sherington dengan alas an yang sama dan menambahkan bahwa penulis surat berada di bawah pusat jalur perjalanan dan rekan-rekannya dapat datang dan pergi dengan leluasa. Sehingga keadaan itu lebih menunjukkan di Roma daripada Kaisarea.[32] Ahli lain seperti Albert mengatakan bahwa Paulus di duga berada di Roma sebagai seorang terpenjara sebanyak dua kali dan telah menderita martir di Roma kira-kira tahun 65 M.[33]
Penerima Kitab Efesus
Di dalam Ef. 1:1 dengan jelas surat ini ditujukan kepada orang-orang kudus di Efesus. Akan tetapi naskah-naskah kuno (Vatikanus) dan menurut para ahli pada abad III (Origenes, Tertulianus dan Basiledes) tidak memuat kata di Efesus. Yang menjad pertanyaan sekarang, jika tidak dikirim ke Efesus, kemanakah gerangan? Sebahagian ahli mengikuti jejak Marcion yang berpendapat surat Efesus ini sebenarnya adalah surat Laodikia (Kol. 4:16). Dengan dugaan lain, bahwa Paulus menulis dua surat. Menurut Duyverman, hipotesa yang paling mendekati yang sebenarnya adalah Laodikia yang disebutkan dalam Kolose itu adalah surat yang bersifat pribadi, dan kemudiannya hilang tidak tahu kemana. Surat Efesus sekarang ini adalah surat edaran yang diperuntukkan bagi jemaat-jemaat baru di Asia (Kis. 19:22, 26).[34] Di samping naskah aslinya, maka Tikhikus membawa pola naskah-naskah salinannya dan pada alamat tiap-tiap naskah diberi tempat kosong untuk diisi masing-masing jemaat yang akan dikirim naskah itu. Patokan duga tersebut dikuatkan oleh kenyataan bahwa surat ini tidak banyak menurut salam pribadi seperti surat-surat Paulus lainnya, mengingat bahwa Paulus telah tinggal di Efesus selama tiga tahun.[35]
Terhadap perbedaan-perbedaan di atas, penulis menunjukkan bahwa surat Efesus adalah surat edaran kepada orang-orang Kristen di Efesus dan sekitarnya. Sebagaimana juga dikatakan oleh Duyverman bahwa surat Laodikia adalah surat yang hilang kemudian, sedangkan surat Efesus adalah surat edaran yang diperuntukkan  bagi jemaat-jemaat baru di Asia. Namun di dalam Gereja mula-mula surat Efesus ini biasanya dikenal dan dialamatkan kepada Efesus.[36]
2.3. Pendamaian dalam Surat Efesus
Kata damai sejahtera yang diistilahkan dari bahasa Yunani (eirene) dalam surat Efesus menunjuk pada situasi atau keadaan. Dalam cerita penciptaan dikatakan manusia dan seluruh ciptaan mengalami damai sejahtera di bumi tetapi pemberontakan manusia itu menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa dan mengakibatkan damai sejahtera itu tidak dapat dialami lagi. Gagasan tentang damai sejahtera juga kita jumpai dalam Kol. 1:20 “Ia memperdamaikan…” ditempatkan berurutan dengan kalimat, “Ia mengadakan perdamaian…” dan keduanya dihubungkan dengan darah salib Kristus. Dalam Ef. 2:14-17, digambarkan bahwa hubungan antara pendamaian dan damai sejahtera erat sekali. Dalam teks ini dikatakan bahwa Kristus sebagai ‘damai sejahtera kita’ (eirene emon) tidak hanya karena Ia telah mempersatukan baik Yahudi maupun non Yahudi, tetapi juga karena IA telah membuat keduanya menjadi satu, manusia baru dalam diriNya. Ia telah menghancurkan kebencian diantara kita. Damai sejahtera itu tidak hanya mencakup kedua pihak dari Yahudi dan non Yahudi tetapi juga supaya keduanya menjadi satu roh untuk beroleh jalan kepada Bapa, mencakup damai sejahtera dengan Allah.[37]
            Perseteruan dan perpecahan sering terjadi dalam interaksi manusia atara satu dengan yang lainnya demikian juga halnya dengan orang-orang Kristen mula-mula, antara jemaat Yahudi dan non Yahudi  dan sering terjadi perbedaan pandangan tentang perlunya sunat. Jadi Kristus dalam misi penyelamatanNya telah mematahkan perselisihan dan perpisahan tersebut. Pendamaian Kristus mempunyai makna bahwa keterpisahan dan perbedaan telah dipatahkan sehingga manusia berada pada tahap “manusia baru”. Damai sejahtera yang Yesus Kristus lakukan tidak hanya bersifat Horisontal, yakni supaya kedua belah pihak (Yahudi dan non Yahudi) dapat hidup dalam suatu kemanusiaan yang baru, suatu kehidupan dalam damai sejahtera. Tetapi juga bersifat Vertikal, yakni supaya manusia dapat hidup dalam damai sejahtera dengan Allah. Allah telah mengalahkan kuasa-kuasa jahat dalam dan melalui Kristus dan oleh karena itu Allah mendamaikan diriNya dengan dunia. Peristiwa pendamaian dimulai dari atas dan turun kebawah. Kasih pendamaian Allah tidak tergantung pada syarat yang bersifat manusiawi, melainkan bersifat tanpa syarat dan mutlak. Allah tidak perlu didamaikan, melainkan Allah-lah yang mendamaikan (2Kor 5:18-19).[38] ketika manusia berdamai dengan Allahdengan sendirinya manusia hidup dalam damai sejahtera. Makna pendamaian telah memberikan rasa ‘damai sejahtera’ bagi manusia itu sendiri. Berlawanan dengan keadaan ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Allah ditaman Eden, dimana kehadiran Allah menjadi ketakutan bagi mereka, mereka mau bersembunyi dari Allah. (Kej. 3:8)
            Kristus adalah damai yang juga menghasilkan kedamaian dengan mempersatukan orang Yahudi dan orang yang bukan Yahudi. Ia melakukan ini dengan menghancurkan tembok penghalang permusuhan yang memisahkan mereka, yaitu melalui kematianNya, Ia membatalkan hukum dengan segala perintah-perintah dan peraturan-peraturannya sebagai hal yang menentukan. Tujuan dari melakukan itu adalh untuk menciptakan ciptaan baru dalam diriNya dari dua kelompok, Yahudi dan bangsa lain. Dengan cara demikian , melalui salib, ia mendamaikan keduanya kepada Allah dalam satu tubuh, dengan menghilangkan permusuhan diantara mereka. Tubuh yang satu ini merupakan sebuah istilah yang menunjuk baik kepada tubuhNya, gereja, yang terdiri dari bangsa Yahudi dan bangsa lain. Maka dari itu, dengan kedatanganNya dan dengan tindakanNya, Ia memaklumkan kedamaian baik kepada bangsa Yahudi yang dekat dan kepada bangsa lain yang berada jauh . akibatnya, keduanya dapat mendekati Bapa dalam satu Roh ; Roh yang berkarya dalam tubuh Kristus, aktif juga dalam Gereja.[39]
III.             Kesimpulan
IV.             Daftar Pustaka
Abbot T. K., A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle the Ephesians and to the Colossians in The International Critical Commentary, ed. S.R. Driver, dkk, Edinburgh: T & T Clark, 1964
Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002
Barclay William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Galatia-Efesus, Jakarta: BPK-GM, 1985
Barnest Abert, Ephesians, Fhilipians, Colossians in Notes on The Testament: ex Planatory and Partical, ed. Robert Frew, Grand Rapids Michigan: Baker Book House X, 1950
Bavinck J. H., Sejarah Kerajaan Allah 2, Jakarta: BPK-GM, 1990
Becker Dieter, Pedoman dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2001
Benyamin Samuel, Damai Itu Meneduhkan, Bandung: Jurnal Info Media, 2006
Bergant Dianne (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2009
Bruce F.F., Tyndale New Testament Commentaries, Michigan: Wm. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, 1987
Butrick George Arthur (ed), The Interpreters Dictionary Of The Bible Vol 4, R-Z, Nashville: Abingdon Press, 1962
Chapman Adina, Pengantar Perjanjia Baru, Bandung: Kalam Hidup, 1993
Choeldahono Novembri, Gereja, Lembaga Pelayanan Kristen dan Diakonia Transformatif dalam Agama dalam Praksis, Th. Kobong, dkk (Ed.), Jakarta: BPK-GM, 2003
D Rahlfs, Septuaginta, Stuttrgart: Deutsche Bible Gesellscaft, 1979
Darmaputera Eka, Kebangkitan Agama dan Keruntuhan Etika dalam Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, Tim Balitbang PGI (Peny.), Jakarta: BPK-GM, 2007
Douglas J.D. (Peny.) Ensiklopedi Alkitab MAsa Kini, Jilid I, A-L, Jakarta: YKBK/OMF, 1992
Drane John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1996
Drane John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 2008
Duyverman M. E., Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1981
 Foulkes Francis, Tyndale New Testament Commentaries Ephesians, Grand Rapids, Michigan: Intervarsity Press, 1983
Goppelt Leonard., Theology Of The New Testament, Vol. 2, Michigan: Wm. B. Eerdmans, 1982
Groenen C., Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Horowith Edward N., Salib Kristus, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2004
Jacobs Tom, Paulus, Hidup, Karya dan Teologi, Jakarta: BPK-GM & Kanisius, 1983
Ladd George Eldon, Theologi Perjanjian BAru, jilid 2, Bandung: Kalam Hidup, 1993
Malley, Penuntun Ke dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1979
Muholland, In New Testament Critism and Interpretation, Michigan: Zondervan Publishing House, 1985
Peterson Robert. M., Tafsiran Alkitab, Imamat, Jakarta: BPK-GM, 1994
Poerwadarminta W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Saragih Jon Renis, Radikalisme Agama: Antara Kekerasan dan Perdamaian dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XXII Juli-Desember 2009
Sizoo, Dari Dunia Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1972
Stoot John, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/OMF, 1995
Tanja Victor I., Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1996
Tenney Merill C., Survey Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 2003
Wood A. Sherington, Ephesians, In NIV Bible Commentary, ed. Kenneth Baker and Verlyn D. Verbrugge, Michigan: Zondervan Publishing House, 1994
Yewangoe A. A., Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK-GM, 2009
Yewangoe A.A., Theologia Crucis di Asia, Jakarta: BPK-GM, 1989



[1] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976, hlm. 224
[2] A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 152
[3] Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, hlm. 11
[4] Eka Darmaputera, Kebangkitan Agama dan Keruntuhan Etika dalam Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, Tim Balitbang PGI (Peny.), Jakarta: BPK-GM, 2007, hlm.69-70
[5] Jon Renis Saragih, Radikalisme Agama: Antara Kekerasan dan Perdamaian dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XXII Juli-Desember 2009, hlm. 36
[6] Victor I. Tanja, Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 73
[7] Novembri Choeldahono, Gereja, Lembaga Pelayanan Kristen dan Diakonia Transformatif dalam Agama dalam Praksis, Th. Kobong, dkk (Ed.), Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 58
[8] Robert. M. Peterson, Tafsiran Alkitab, Imamat, Jakarta: BPK-GM, 1994, hlm. 32-33
[9] George Arthur Butrick (ed), The Interpreters Dictionary Of The Bible Vol 4, R-Z, Nashville: Abingdon Press, 1962, pg. 16-17
[10] J.D. Douglas (Peny.) Ensiklopedi Alkitab MAsa Kini, Jilid I, A-L, Jakarta: YKBK/OMF, 1992, hlm. 226
[11] Rahlfs D, Septuaginta, Stuttrgart: Deutsche Bible Gesellscaft, 1979, p. 570-578
[12] Leonard. Goppelt, Theology Of The New Testament, Vol. 2, Michigan: Wm. B. Eerdmans, 1982, pg. 138-139
[13] George Eldon Ladd, Theologi Perjanjian BAru, jilid 2, Bandung: Kalam Hidup, 1993, hlm. 206
[14] Ibid., hlm. 208
[15] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, Jakarta: BPK-GM, 1989, hlm. 70
[16] Tom Jacobs, Paulus, Hidup, Karya dan Teologi, Jakarta: BPK-GM & Kanisius, 1983, hlm. 147-150
[17] Edward N. Horowith, Salib Kristus, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2004, hlm. 128-129
[18] F.F. Bruce, Tyndale New Testament Commentaries, Michigan: Wm. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, 1987, pg. 102
[19] John Stoot, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/OMF, 1995, hlm. 401
[20] C.Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 289
[21] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 346
[22] Adina Chapman, Pengantar Perjanjia Baru, Bandung: Kalam Hidup, 1993, hlm. 83
[23] Merill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 2003, hlm. 363
[24] Muholland, In New Testament Critism and Interpretation, Michigan: Zondervan Publishing House, 1985, pg. 310
[25] J.D. Douglas, Op.Cit., hlm. 267-268
[26] Merill C. Tenney., Op.Cit., hlm. 16-17
[27] Sizoo, Dari Dunia Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1972, hlm. 177
[28] Ibid., 228
[29] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, 388
[30] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Galatia-Efesus, Jakarta: BPK-GM, 1985, hlm. 96
[31] A. Sherington Wood, Ephesians, In NIV Bible Commentary, ed. Kenneth Baker and Verlyn D. Verbrugge, Michigan: Zondervan Publishing House, 1994, pg. 473
[32] Merill C. Tenney., Op.Cit., hlm. 398
[33] Abert Barnest, Ephesians, Fhilipians, Colossians in Notes on The Testament: ex Planatory and Partical, ed. Robert Frew, Grand Rapids Michigan: Baker Book House X, 1950, pg. 125
[34] M. E. Duyverman, Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1981, hlm. 106, bnd. Francis Foulkes, Tyndale New Testament Commentaries Ephesians, Grand Rapids, Michigan: Intervarsity Press, 1983, pg. 23
[35] Malley, Penuntun Ke dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1979, hlm. 231 ; John Drane, Op. Cit, hlm. 385
[36] T. K. Abbot, A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle the Ephesians and to the Colossians in The International Critical Commentary, ed. S.R. Driver, dkk, Edinburgh: T & T Clark, 1964, pg.11, bnd. J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm. 890-891
[37] Samuel Benyamin, Damai Itu Meneduhkan, Bandung: Jurnal Info Media, 2006, hlm. 79
[38] Dieter Becker, Pedoman dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 131
[39] Dianne Bergant (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 345

Tidak ada komentar:

Posting Komentar