Nama : Ikotison Marpaun
WIBAWA ALKITAB MENURUT MARTIN
LUTHER
(Suatu Tinjauan Dogmatis Terhadap
Wibawa Alkitab Menurut Martin Luther dihubungkan dengan Teologi Kontemporer)
I.
Pengantar
Dalam
pergolakan akan pengertian Alkitab pada saat ini cukup berkembang bahkan bagi
sebagian orang Alkitab adalah sebuah kitab yang dituliskan oleh tangan-tangan
orang berdosa dan Alkitab itu memiliki kekurangan. Dengan itulah ada sebuah
asumsi bahwa Alkitab itu bukanlah firman Allah. Setelah Alkitab hadir dengan
Kanonnya Gereja mula-mula dalam pertumbuhan dan perkembangannya menghadapi dan
mengalami berbagai tentangan dan hambatan baik dari dari dalam
gereja maupun dari luar gereja. Dalam menghadapi yang dari luar gereja ,
orang-orang Kristen mampu dan berani menghadapinya sekalipun mereka
harus mengalami bebagai penderitaan, penganiayaan serta penyiksaan-penyiksaan
yang beresiko kehilangan nyawa, menjadi martir. Dari dalam, gereja
menghadapi tantangan yang tidak kalah bahaya,yaitu munculnya ajaran-ajaran
sesat yang mau menyimpangkan gereja dari’ Yesus sejati’ dan ‘Injil Sejati’
seperti: Ebionite, Doketisme, Antinomianisme, Gnostik, Arianisme, dll…Untuk
menghadapi hal-hal ini Gereja memperlengkapi diri dengan berbagai mekanisme
atau yang disebut oleh Berkhoff & Enklaar sebagai senjata-senjata Gereja
untuk melawan dan membendung ajaran-ajaran sesat itu, melalui: Konsili, Kanon Kitab-suci, Pengakuan Iman,
dan Pewarisan Jabatan Rasuli (suksesi rasuli, apostolik succession) serta disiplin gereja.[1]
Pengkanonan
Alkitab adalah hasil dari sebuah pergumulan atau tantangan yang ada dan
dikanonkan dalam menjawab konteks yang ada. Namun setelah Alkitab diakui
sebagai pedoman hidup bagii kekirtenan perkembangan-perkembangan zaman yang
merajalela dan mencoba mengikis nilai itu sendiri. Perkembangan itu dapat kita
lihat pada masa pencerahan dimana berkembangnya ilmu filsafat, rasinalisme dan
Humanisme dlln. Sehingga sentara dari sebuah kebenaran diukur dari beberapa hal
yang disebutkan. Hal inilah yang mengoyangkan kedudukan Alkitab dan Wibawa
Alkitab sebagai hal yang harus dijunjung dan dihormati sebagai wahyu/penyataan
Allah. Dalam perkembangan itu juga kita tidak hanya berpikir tentang
perkembangan Alkitab, Namun dalam perkembangan Teologi Kontemporer juga sudah
berkembang dan memiliki banyak warna. Nah... yang mau kita lihat adalah
bagaimana Teologi kontemporer pada masa awalnya teologi itu muncul. Sehingga
kita boleh simpulkan pendapat teologi kontemporer yang berwarna putih atau
hitam. Apa yang dimaksud teologi kontemporer adalah bagaimana pandangan teologi
ini yang memandang Alkitab itu sendiri pada masa awal bertumbuhnya teologi
kontemporer itu.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Alkitab Secara Umum
Alkitab
yang secara singkat dapat dipahapi adalah Kitab Suci orang Kristen yang diakui
sebagai kumpulan hikmat dan kebenaran. Alkitab juga dapat disebut dengan kitab
atau buku pedoman. Atau bagi orang Islam kitab itu merupakan pedoman hidup
mereka. Dalam KBBI Alkitab adalah Kitab Suci orang Kristen yang sebagai Kitab Suci,
yang terdiri atas dua Perjanjian yang disebut dengan perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru.[2]
Alkitab juga dihubngkan dengan sebuah Kitab Suci yang mengarah kepada buku,
namun berisi pedoman-pedoman dan prilaku. Kitab Suci ini juga dalah wahyu Tuhan
yang dibukukan hal ini disamakan dengan Alguran dan kitab-Kitab Suci lainnya. Di
dalam bahasa inggris kata ini diterjemahkan dengan “Bible” yang artinya Tulisan-tulisan
yang diilhami oleh Allah dan mengungkapkan iman Yahudi dan Kristiani yang
normatif untuk segala zaman.[3]
Kitab
dalam bahasa Ibrani disebut כָתַב (ḳȃṭab), digunakan juga katašațȃru
שֵׁתׇרKata tersebut berkembang menjadi: surat,
dokumen, alkitab, tulisan, kitab. Ada dua kata yang dipakai untuk Kitab Suci.[4]Gramma yang artinya secara harafiah
“huruf abjad”, digunakan dalam PB untuk ‘naskah’ (Luk 16:6; Kis 28:21) , untuk
hukum dalam arti tertentu oleh Paulus (Rm 2:27,29; 7:6; 2 Kor 3:6), dan dalam
bentuk jamak untuk “tulisan-tulisan” Musa (Yoh 5:47), untuk pengajaran
keagamaan atau duniawi (Yoh 7:`15), dan hanya sekali dalam kalimat τα ‘ειρα
γραμματα (ta heira grammata) “kitab-Kitab Suci” (2 Tim 3:15). Dalam bahasa
Yunani γαφαι sama arti dengan Kitab
Suci, atau kumpulan dari buku-buku pribadi. Dalam bahasa Ibrani כּׅתְבֵי הַקֹּדֶשֹ
Kitab Suci . Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa Kitab Suci adalah kitab yang suci yang khusus berarti tulisan
penting tertentu. Dalam PB digunakan 50 kali untuk menunjuk “Alkitab” dalam
arti teknis yang pada umumnya berarti PL.[5]
2.2.
Alkitab dan Kanon
Kanon
Kitab Suci (Yun kanon κανον daftar, aturan, standat) yang
merujuk kepada kumpulan kitab-kitab yang diterima umat sebagai yang memiliki
otoritas firman Allah, dan karena itu, menjadi tolak ukur tertinggi bagi umat.
Sehingga Kanon Alkitab merupakan otoritas yang Ilahi, sehingga dari kitab-kitab
itu dikenali dan diakui memiliki otoritas firman Allah. proses itu pastilah
memakan waktu yang lama dalam mengkanonkannya dan melibatkan faktor-faktor
manusiawi, istitusional, dan dalam pemahaman konservatif, tidak terlepas dari
bimbingan Roh Kudus. Secara sederhana Allah lah yang lebih dahulu mengilhami
para penulis dan membimbing umatNya untuk mengenali kitab-kitab sebagai firman
Allah.[6].
Sesudah Kitab Suci terbentuk, umat tidak mempersoalkan otoritas dari
kitab-kitab kanonik. Konsep kanon baru lahir kemudian sebagai respon terhadap
pendekatan modern historis kritis atas Alkitab pada zaman pencerahan yang
berusaha menganalisis Alkitab secara Kritis. Sejak itu, kanon Alkitab dan otoritasnya mulai
dipersoalkan. Hasilnya pada abad ke 17 dan ke-18 muncul konsep kanon Kitab Suci,
dimana penerimaan akan otoritas dari kitab-kitab kanonik dikukuhkan kembal oleh
gereja atau sinagoga.
2.3.
Alkitab Sebagai wahyu
Kita
harus pahami bahwa Alkitab adalah sebuah tulisan manusia pada masannya dan
orang yang berbeda-beda pula. Seperti halya penulis kitab Musa
(Kejadian-Keluaran) dan sejumlah nabi lainya menulsiakn sekumpulan kitab di
dalam Perjanjian Lama dalam bahasa-dan pemahamannya. Namun sebagai otority
hanya sada SATU pengarang seluruh isi Alkitab, dan pengarang itu adalah Allah.
Alkitab adalah Allah itu sendiri, yang tidak hanya berisi firman Tuhan, yang
mencampuraduk dengan tambahan dan sisipan manusia disana sini, namun
keseluruhanya adalah firman Allah. Sebagai kesatuan yang utuh Alkitab itu
adalah sebuah ilham yang memang diterima setiap manusia. Segala tulisan
diilhamkan Allah (2 Tim 3:16), selain itu “setelah pada masa Perjanjian Lama,
Allah sebagai YAHWE berulang kali dan pelbagai cara berbiacara kepada nenek
moyang kita dengan perantaraan manusia yaitu para nabi dan pada zaman Baru Ia
berbicara lewat AnakNya (Ibr 1:1,2)”. Dan semua orang yang menerima Ilham
(wahyu) bukan sebagai perkataan manusia namun sunggu-sungguh demikina sebagai
firman Allah (1 Tes 2:13).[7]
Objek
yang sesungguhnya penyataan dan wahyu Allah terletak kepada Yesus Kristus yang
sebagai manusia yang sama dengan manusia. Namun Yesus itu sebagai firman dan
firman itu adalah Allah (Yoh 1:1). Dasar penusuran wahyu yaitu kehendak Allah
yang jelas. Seperti wahyu didasari pada kehendak Allah yang ingin menyelamatkan
semua orang (1 Tim 2,4), begitu pula penerusan wahyu didasari oleh kehendak
penyelamatan yang sama. Demi keselamatan manusia, Tuhan mengendaki agar apa
yang diwahyuhkan itu diteruskan secara utuh kepada semua angkatan,
turun-temurun. Wahyu itu harus diwartakan sebagai firman Allah melalui para
nabi dan rasuli-rasuli yaknni pewartaan tidak tertulis dan pewartaan tertulis.
Bentuk penelusuran itu adalah :
-
Dengan perantaraan tidak tertulis
Dalam
memahami point ini ada tiga hal yang perlu dijelaskan pertama, prioritas
pewarataan tidak tertulis terlihat dari sudut pandang waktunya karena Kitab
Suci didahului wahyu dari Allah itu sendiri. Kedua, dibawah bimbingan
Roh Kudus, para rasuli mengembangkan ajaran Kristus. Sebagai manusia biasa
memang tidak mampu menjelaskan ilhaman dari Allah namun sebagai penerima wahyu
itu sendiri mereka tidak hanya mengulangi apa secara pribadi diajarkan oleh
Kristus. Mereka juga sesuai dengan kebutuhan Gereja yang sedang tumbuh. Untuk
semuanya itu mereka diterangi oleh ilham Roh Kudus. Setelah Yesus naik Ke
Surga, Roh Kudus membimbing dan menerangi mereka untuk mendalami mereka seluruh
misteri Kristus. Ketiga, Tradisi, tradisi yang dartikan adalah penerusan. Dalam konsili Vatikan II menaruh tekanan baru, dibanding
tekanan yang ditaruh olh Vatikan I dan Trente. Dalam penulisan dan pewahyuan
Alkitab memang dimuat kebiasaan dan pergaulan-pergaulan Yesus dan cara Yesus sebagai
nilai penerusan yang dimaksudkan.
-
Dengan perantaraan tertulis
Sebagai
wahyu yang Ilahi sebenarnyalah itu dituliskan sebagai maksud dan tujuan
pembukaan amanat keselamatan. Dengan itu (tulisan) hidup jemaat dan iman mereka
sediri dan dalam cara hidupya melihat ilham itu sendiri. Dalam mehamai Kitab
Suci baik Tradisi maupun kitab semuanya itu adalah berasal dari dasar ilahi
yang sama yaitu karya sabda Kristus, dan dorongan Roh Kudus, maka berasal dari
wahyu, dan dalam Kitab Suci wahyu yang disampaikan memalui kharisma inspirasi yaitu ilham Roh. Alkitab yang menampung wahyu,
maka antara pewartaan tertulisa dan wahyu terdapat kaitan yang erat, tetapi
bukan identifikasi. Alkitab tidak sama dengan wahyu, sebab hanya merupakan
penyataan dalam bentuk dokumen tertulis. Dalam persolan pengarang sepatah kata
bagi mereka adalah bukan hanya redaktur terakhir. Namun mereka/pengarang itu
telah mencatat , menulis dan mengarang
bahan-bahan yang alkhirnya ditungkan dalam bentuk Kitab Suci yaitu
Alkitab. Pertanyaannya apakah Alkitab itu sabda Allah?? yang membuat Kitab Suci
itu sabda Allah ialah inspirasi, ilham Roh Kudus. Yang termasuk pengarang kitab
itu merupakan inspirasi dari Roh yang memang bdipengaruhi kedaan dan kondisi si
pengarang itu sendiri namun jelas semuanya itu adalah bimbingan Roh. Sebgaai
pengarang juga kebal dengan kesesatan selama menulis (dalam arti wahyu) apa
yang telah diwahyukan dalam tatanan keselamatan. Kitab Suci bukanlah sesuatu
yang kebetulan saja namun berasal dari Allah.[8]
2.4.
Sifat-sifat Alkitab
Sebagai
gereja yang sudah pemahaman tersendiri dengan dogma nya hal yang sama juga para
tokoh reformasi yang mencoba merumuskan keyakinan mereka bahwa Alkitab memiliki
sifat-sifat nya sebagai beriku:
1. Alkitab
adalah berkuasa atau berwibawa
Gereja
GKR mengakui, sama dengan gereja-gereja reformasi bahwa Alkitab berkuasa atau
berwibawah, dan bahwa kuasa itu sedemikian rupannya, sehingga Alkitab tidak
dapat salah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh GKR yang tidak melepaskan
bahwa kebenaran Alkitab itu juga tidak terlepas dari Gereja pada masa itu.
Karena bagi gereja GKR kekuasaan gereja tidak terlepas dari dogtrin-doktrin
yang sudah ditetapkan oleh GKR. Karena gereja adalah satu-satunya lembaga yang
memiliki kuasa yang tidak dapat diganggu gugat, karena gereja tidak dapat
salah. Namun bagi Rfeormasi gereja tidak berada diatas Alkitab, sebab gereja
sesat seperti yang nyata dalam sejarah gereja. Maka gereja berada dibawah
Alkitab itu sendiri, dan Alkitab mewujudkan instansi di atas gereja. Oleh karena
itu Alkitab berkuasa, sehingga perlu diterangkan jadi yang berkuasa adalah
berita atau kerygma, yaitu bahwa
Yesus Kristus adalah Firman yang telah menjadi manusia untuk mendamaikan
manusia dosa dengan Allah.
2. Alkitab
adalah cukup
Dalam
konsili di Trente (1546-1563) memutuskan bahwa kebenaran dan ajaran Kristus
sebagian termuat di dalam kitab-kitab yang tertulis, dan sebagian termuat dalam
tradisi yang tidak tertulis, yang telah diucapkan oleh Yesus dan yang telah
diterima oleh para Rasul, dan sejak pada zaman rasul oleh karena pengilhaman
Roh Kudus diteruskan ke tangan kepada manusia. Dan tradisi itu berfungsi untuk
menjelaskan lebih lanjutkan isi Alkitab, dan tradisi menambah kekurangan dari
Alkitab. Memang hal di atas membawa kita kepada ketidak cukupan sebagai firman
Tuhan yang utuh dan wahyu yang utuh. Gereja-gereja reformasi berpendapat bahwa
Alkitab itu cukup, artinya cukup untuk memimpin orang kepada hidup yang kekal.
3. Alkitab
adalah jelas
Gereja
GKR dan reformasi sama-sama mengakui Allahlah menjadi penulis Alkitab, namun
GKR mendominasi bahwa Alkitab itu harus ditafsirkan oleh gereja itu sendiri
karena gereja sebagai sentral. Namun sebagai reformasi yang berkembang itu maka
gereja-gereja reformasi mengakui Alkitab adalah jelas. Memang banyak hal yang
tidak terang namun jalan keselamata diteragkan di dalam Alkitab itu sendiri.
Sehingga Alkitab terbuka bagi siapapun , yang pandai maupun bodoh, yang
terpelajar maupun buta huruf. Firman itu tetap menjadi pelita bagi kaki kita
dan terang bagi jalan kita (Mzm 119:105-130).[9]
2.5.Pengertian
Alkitab Menurut Martin Luther
Pehaman
yang umum Bagi Luther Alkitab itu adalah
Kitab Suci yang berasal dari saksi apostolik terhadap Kristus. Luther
dan teman-teman reformatornya menerima otoritas Kitab Suci sebagai firman Allh.
Untuk Luther Alkitab adalah buku dari janji yang mensirkulasikan firman yang
dikotbahkan. Inti dari Kitab Suci adalah janji Injil yang dibawa untuk
menggambarkan Kristus. Kitab Suci menyampaikan pemberian firman hidup dari
keselamatan yang diberikan Kristus kepada yang menerimannya (penerima) melalui
iman saja. Walaupun Lutheranisme awal memahami prinsip Kitab Suci Luther
sebagai konfensional, namun dia tidak pernah membuang prinsip keutamaan Kitab
Suci diatas konfesi. Prinsip yang sama juga dipakai Zwingli dan Calvin, dan
dokumen-dokumen dari gereja Reformed. Ringkasan singkat dari posisi Kitab Suci
terhadap Lutheranisme dan gereja Reformed mengindikasikan dua hal:
1.
Keduanya secara keseluruhan setuju atas otoritas Kitab Suci
2.
Bahwa konfesi gereja Reformed menggambarkan doktrin yang lebih detail dari Kitab
Suci.
Untuk
Lutheran otoritas Kitab Suci tinggal di dalam isi Injil itu sendiri. Kitab Suci
berarti anugerah. Kitab Suci ditulis dari wahyu dimana Allah
mengkomunikasikannya kapada nabi dengan inspirasi Roh Kudus. Allah adalah
penulis sejati dari Kitab Suci; manusia adalah alat Allah untuk menghasilkan Kitab
Suci. Kitab Suci itu secara keseluruhan bebas dari kesalahan dan ketidak
sempurnaan. Roh Kudus mendiktekannya dalam berbagai bahasa. Nabi-nabi,
penginjil dan rasul-rasul adalah sekretaris yang diinspirasikan.[10]Karena
para rasul adalah pondasi dari gereja, kekuasaan mereka adalah dasar, tidak ada
otoritas yang bisa mengimbanginya. Pengajar-pengajar di gereja bisa saja salah,
namun Kitab Suci tidak akan salah. Dengan ini Luther menjunjung tinggi otoritas
Kitab Suci sebagai Firman Allah. Bagi Luther Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru dan suara yang hidup adalah suatu kesatuan.[11]
Menurut
Luther isi dari Alkitab adalah hukum dan injil. Sepanjang Kitab Suci
menciptakan hukum itu mengarahkan manusia kearah Kristus sebagai juruselamat.
Karena hukum diberikan sebagai persiapan terhadap Kristus dan membawa manusia
kepadaNya. Maka Kitab Suci sebagai hukum dan Injil secara langsung dan tidak
langsung adalah saksi Kristus. Dan dalam pengertian ini bahwa Kristus adalah
isinya secara keseluruhan. Tidak semuanya Kitab Suci adalah injil namun
mengandung injil disetiap bagiannya.
Mengenai
keaslian Kitab Suci, Luther berkata karena Kristus adalah isi dari Kitab Suci,
maka ini berarti bahwa di dalam Roh Kudus, Kristus mengautentikkan dirinya
sendiri kepada manusia sebagai kebenaran dan membuat Kitab Suci menjadi
autentik juga. Luther melihat bahwa
gereja telah berdiri di atas Kitab Suci. Kitab Suci adalah ratunya yang menguasai semuanya dan semuanya harus
tunduk dam mematuhinya. Tidak satupun, tidak peduli siapun dia yang
diperbolehkan menguasai dan menghakimi Kitab Suci, sebaliknya semua harus
menyaksikannya, memuridkannya dan mengakukannya. Ini berarti tidak seorangpun
berada dalam posisi memvalidasi Kitab Suci, Kitab Suci itu sendiri yang
memvalidasi dirinya. Bukanlah gereja yang berotoritas atas Kitab Suci, namun Kitab
Suci yang berotoritas atas gereja.[12]
2.6.Pengertian
Teologi Kontemporer
Teologi konteporer atau yang disebut
juga dengan Teologi Modern adalah teologi Historis-Kritis, yaitu teologi yang
di dasarkan pada keraguan/kecurigaan terhadap Alkitab. Alkitab tidak lagi
diterima sebagai wahyu Allah/kebenaran yang diilhamkan, tetapi sebagaimana
layaknya buku kuno yang harus dibuktikan kebenarannya, baik dari sisi
sejarahnya maupun berita yang disampaikan di dalamnya. Dengan demikian Alkitab
tidak diterima lagi sebagai satu-satunya sumber teologi dan menjadikan Filsafat
sebagai sumber kedua yang pada akhirnya menggeser secara penuh kedudukan
Alkitab. Karena Teologi ini tidak berdasar pada Allah dan Firman-Nya, maka
melahirkan pemahaman teologi yang berbeda-beda antara satu teolog dengan teolog
lainnya. Walaupun cukup ambigu memandang teologi kontemporer namun ada hal yang
perlu diperhatikan, memang banyak teologi kontemporer yang ada sekarang ini,
dari Aliran liberal dan kaum yang sudah dipengaruhi oleh pandangan Bart dan
teologi lainya. Tetapi kita mau coba lihat teologi kontemporer yang bersifat
liberar yang memandang Alkitab itu sebagai nilai pikiran saja. Dalam hal
dibawah ini akan coba dibahasakan.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa
teologi kontemporer adalah:
a) Bukan teologi Kristen
karena telah menyimpang dari azas-azas teologi Kristen. Teologi Kristen adalah
teologi yang azas utamanya ialah Allah dan Firman-Nya (Alkitab). Sementara itu
lecture teologi kontemporer telah berpindah azas kepada manusia (humanisme) dan
Filsafat masa pencerahan atau juga ilmu pengetahuan sosial. Jelas bahwa teologi
Kontemporer bukanlah teologi Kristen bahkan pantas juga jika kitasebut “Bukan
Teologi”.
b)
Bidat Kristen/antikristus. Saya sependapat dengan Eta Linneman bahwa teologi
Kontemporer adalah bidat Kristen, sebab memang memenuhi syarat untuk disebut
sebagai bidat, diantaranya adalah:
v Memberitakan
kebenaran baru yang selalu bertentangan dengan doktrin Alkitabiah.
v Mendasarkan
ajarannya di atas dasar selain Alkitab yang adalah Firman Allah. Mereka memakai
buku-buku yang dikarang oleh pendiri aliran mereka.
v Memberitakan
Yesus yang lain dengan yang Injil beritakan.
v Memberitakan
ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang Alkitabiah.[13]
Pemahaman yang real bahwa Teologi Kontemporer itu
memiliki sifat khas tersendiri dan dipengaruhi dari hal-hal yang bertentangan
dengan Alkitab. Dalam bukunya Linnemann, Eta, Teologi Kontemporer (Malang,
Penerbit Institut Injili Indonesia, 1991). hal. 8-12 menuliskan sebagai
berikut:[14]
- Teologi Kontemporer bersifat Teologi Universitas.
Universitas adalah sebuah sekolah.
Kata "sekolah" ini diambil dari bahasa Romawi yang berarti
"senggang" (leisure). Tujuan utama universitas bukan mempersiapkan
orang untuk melayani atau bekerja. Yang menjadi sebab dan pendorong karya
Mahaguru dan Mahasiswa adalah: menyelidiki segala yang dapat diselidiki untuk
memperoleh pengertian dan pengetahuan. Dengan kata lain, mereka hanya ingin
mengetahui untuk mengetahui, yaitu makan buah dari pohon 'pengetahuan'. Jadi,
hasil pelajaran universitas tidak sesuai dengan kebutuhan gereja atau
masyarakat sejauh universitas itu adalah universitas yang tulen, dan
sungguh-sungguh ilmiah.
- Semua yang disebut Teologi Kontemporer adalah
Teologi Historis-Kritis.
Semua Teologi Historis-Kritis
didasarkan atas keputusan: melihat Alkitab sebagai sebuah dokumen sejarah agama
kuno yang harus dinilai dan dikritik oleh akal manusia. Walaupun mereka
mengetahui bahwa Alkitab sangat berarti bagi Gereja sebagai kanon kitab kudus,
tetapi mereka tidak mampu menghargai Alkitab sebagai Firman Allah, atau wahyu
Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus.
- Teologi Kontemporer tidak berdasar pada Alkitab.
Walaupun mereka semua memakai dan
menggunakan Alkitab, tetapi dasar pikiran mereka bukan Alkitab melainkan
filsafat. Mereka bersama-sama mempunyai azas yang diambil dari filsafat, namun
masing-masing mendasarkan secara khusus pada suatu filsafat tertentu. Dalam
tiap teologi historis- kritis, filsafat adalah dasar, dan dari Alkitab hanya
bagian pilihan saja yang diterima dipakai sebagai 'lauk-pauk'. Tokoh-tokoh
teologi kontemporer tidak memperhatikan peringatan-peringatan yang diberikan
dalam Alkitab, misalnya: "Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan
kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan
roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus" (Kol 2:8). "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia
ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan
manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang
sempurna." (Rom 12:2).
Kalau harus dikatakan, asal mula dan
dasar teologi kontemporer ialah bukan Wahyu Allah dalam Alkitab melainkan
filsafat, itulah satu hal yang dahsyat dan ini berarti teologi kontemporer pada
dasarnya bersifat atheistis dan anti-Kristus.
- Teologi Kontemporer yaitu (yang disebut) Teologi
Historis-Kritis atau Teologi Modern adalah bidat.
Teologi historis-kritis
keseluruhannya bertumpu pada pikiran monisme yang berarti: hanya ada
satu-satunya dunia yang real, itulah dunia yang nampak. Dunia yang tak nampak
secara real tidak ada (kecuali mungkin Allah sendiri), itu hanya bersifat
gambaran atau mitos. Karena itu, apa yang ditulis dalam Alkitab mengenai Tuhan
Yesus datang dari Sorga, dilahirkan oleh anak dara, bangkit dari antara orang
mati, naik ke Sorga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa dan akan datang kembali,
bukan peristiwa yang bersifat historis-real, melainkan gambaran sesuai dengan
cara pikiran manusia kuno - mitos.
Dengan demikian, walaupun para
teolog historis-kritis masing-masing membuat satu teologi tertentu yang berbeda
satu dengan yang lain, tetapi semuanya dicela oleh Firman Allah dalam 1Yo 2:22-23: "Siapakah Pendusta itu? Bukankah dia yang
menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus? Dia itu adalah antikristus, yaitu yang
menyangkal baik Bapa maupun Anak. Sebab barangsiapa menyangkal Anak, ia juga
tidak memiliki Bapa. Barangsiapa mengakui Anak, ia juga memiliki Bapa."
Mereka juga dicela dalam 1Yo 4:2-3: "Demikianlah kita mengenal
Roh Allah: setiap roh yang mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai
manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh yang tidak mengakui Yesus, tidak
berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu
dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam
dunia". Juga ditulis mengenai mereka dalam 2Pe 3:3-4: "Yang terutama kamu harus ketahui ialah, bahwa
pada hari zaman akhir akan tampil pengejek-pengejek dengan ejekan-ejekannya,
yaitu orang-orang yang hidup menuruti hawa nafsunya. Kata mereka 'Di manakah
janji tentang kedatangan-Nya itu? Sebab sejak bapa-bapa leluhur kita meninggal,
segala sesuatu tetap seperti semula, pada waktu dunia diciptakan'."
Walaupun beberapa tokoh memilih hal
ketidakpercayaan dengan sadar pada waktu mereka memulai usaha teologi
historis-kritis, tetapi hampir semua tidak sadar, bahwa teologi historis-kritis
bersifat ketidakpercayaan. Mereka hanya berpikir, bahwa itulah kepercayaan abad
XX dan tidak ada pilihan lain bagi manusia modern.
2.7.
Wibawa Alkitab menurut Martin Luther dan Teologi Kontemporer
Kewibawaan
Alkitab tidaklah berasal dari sebuah keputusan rapat gereja seperti suatu
negara menerima Undang-Undang Dasarnya via konstituante. Alkitab mempunyai
kewibawaan rohani yang timbul dari isinya sendiri: Roh Kudus telah mengerjakan
sedemikian rupa hingga gereja di masa lampau mendengarkan isi Alkitab dan
selalu pula mendengarkannya sebagai Firman Allah. Asal dan sumber kewibawaan
itu sendiri berasal dari Allah sendiri. Orang-orang beriman mengakui: disinilah
dan hanya disini saja yaitu di dalam Alkitab, kita mendengarkan suara Tuhan.
Calvin mengatakan bahwa bukti yang terbesar tentang kebenaran Alkitab terletak
di dalam Allah sendiri yang bersabda dalam Alkitab itu. Bukti ini sah dan
diterima oleh mereka yang hatinya telah diajar oleh Roh Kudus.[15]
Luther
yang hadir sebagai sosok reformatoris melihat sebuah pemahaman yang kuat akan
kewibawahan Alkitab itu. Pengenalanya itu dilanjutkan dengan sebuah gelar
“Doktor Kitab Suci” hal ini juga diakukannya sebagai orang yang berjanji dalam
menyatakan yang wajib membela kebenaran firman Allah dengan tulisan dan
perkataan, dan merupakan sebagai pengangan yang kuat bagi sepanjang hidupnya.
Taruhanya adalah tradisi gereja yang ia paparkan karena dengan setia dan murni
menjungjung tinggi kewibawaan Alkitab itu maka ia mempunyai hal dalam
membrontak terhadap Tradisi gereja. Luhter tidak lagi mengajarkan filsafat Aristoteles,
bahkan ia tidak mengajarkan tentang hal-hal yang diluar Alkitab namun ia
sebagai guru besar mengajarkan akan kedudukan Alkitab itu sebagai sebuah
kebenaran yang sesungguhnya. Bagi dia Alkitab itu adalah Kitab Suci yang sering
disebut berdasar/atau hanya oleh Alkitab. Kesibukanya dalam menafsirkan dan
meneliti Alkitab itu karena dianggap sebagai injil yang didalamnya nyata
kebenaran, yang bertolak dari iman dan
memimpin kepada iman (Rom 1:7)[16]
Dalam sebuah introgasi dengan Kardina Cajetanus di Augsburg (1518),
ketika didesak untuk mengaku salah dan menerima dekrit Paus, Luther dengan
tegas menjawab, "Saya tidak akan muncul dari begitu banyak kesaksian Kitab
Suci yang jelas, hanya karena sebuah dekrit Paus yang bermakna ganda."
Lalu pada waktu Cajetanus mengingatkan otoritas Paus terhadap Alkitab, konsili
dan gereja, Luther menyatakan pendiriannya dengan terus terang, "Dia (Paus) menyelewengkan Kitab
Suci. Saya menyangkal bahwa ia mengatasi Kitab Suci.[17] " Jawaban
ini mencerminkan pergumulan reformasi dalam rangka otoritas Alkitab,
sebagaimana dirumuskan kemudian sebagai salah satu prinsip reformasi: Sola
Scriptura. Berhubungan dengan prinsip ini, timbul pertanyaan: Apakah memang
Luther sama sekali menolak otoritas gereja atas dasar Alkitab sebagai satu-satunya
otoritas bagi umat percaya? Dari sejarah gereja, kita ketahui bahwa sikap
Luther sendiri sebenarnya cenderung konservatif. Sejauh mungkin ia berusaha
mempertahankan apa saja yang masih berlaku benar sesuai dengan ajaran Alkitab.
Dalam arti ini sikap Luther tidak dapat dikatakan
"revolusioner". Baru kemudian karena konfrontasi tidak dapat
dihindari lagi, Luther mengambil pendirian yang cukup revolusioner dengan
menolak otoritas Paus sebagai satu-satunya yang berhak menafsirkan Alkitab. Dalam
perdebatannya dengan Johann Eck di Leipzig (1519), misalnya, ia menegaskan
bahwa Alkitab saja yang perlu diikuti: "Bukan kuasa Roma atau Inkuisisi
yang berhak menetapkan pokok-pokok yang baru tentang iman. Tak ada orang
Kristen yang dapat dipaksa di luar Kitab Suci, oleh hokum ilahi kita dilarang
untuk percaya akan apa saja yang tidak ditetapkan oleh Kitab Suci atau wahyu
yang jelas."
Martin Luther adalah seorang
penafsir abad 16 yang paling berpengaruh. Sebagai pencetus Sola Scriptura
inilah beberapa prinsipnya mengenai penafsiran Alkitab :
1. Mementingkan iman dan penerangan Roh
Kudus dalam menafsirkan Alkitab. Seorang penafsir tidak diperkenankan
mengeritik Alkitab dengan rasionya yang hina, tetapi menggali arti Alkitab
dengan berdoa dan meditasi.
2. Alkitab memiliki otoritas tertinggi,
lebih tinggi daripada gereja.
3. Alkitab dapat dimengerti, dan bersifat
konsekwen. Alkitab harus ditafsir dalam pengertian sederhana dan harifah.
Alkitab harus ditafsir juga dengan memperhatikan tata bahasa, situasi, kondisi
zaman penulis Alkitab, juga konteks ayat yang bersangkutan. Cara alegoris hanya
bisa dipakai, jika kata-kata dari satu bagian Alkitab tak jelas, tanpa keliru,
menuntut suatu penafsiran alegoris. Untuk penafsiran yang tepat, Alkitab harus
dibaca dalam bahasa aslinya.
4. Setiap orang Kristen dapat mengerti
Alkitab tanpa pertolongan atau petunjuk dari gereja. Alkitab harus ditafsir
dengan Alkitab. Yakni menafsir ayat yang kurang jelas dengan yang lebih jelas
tanpa tradisi lisan gereja. Alkitab memiliki sifat kesatuan, dengan demikian
suatu topik baru akan jelas, jika semua ayat yang bersangkutan sudah
diperhatikan.
5. Kristus adalah pusat dari Alkitab.
Setiap prinsip harus diuji apakah membawa kita kepada Kristus.
6. Membedakan Taurat dan Injil. Penafsir
Alkitab tidak boleh mencampur-campurkan Taurat dengan Injil ( Gereja Roma
Katolik telah merubah Injil menjadi Taurat baru). Taurat berfungsi menunjukan
kesalahan manusia, sedangkan Injil adalah anugerah penyelamatan dan kuasa
Allah. Seorang penafsir yang baik harus sanggup membedakan dua aktivitas Allah
yang berlainan ini.[18]
Luther juga pernah berkata: “No one is
bound to believe more than what is based on Scripture. The Word must be
believed against all sight and feeling and understanding. It also has primacy
over dreams, signs and wonders”. (Tidak seorang pun diharuskan untuk
mempercayai sesuatu lebih dari pada apa yang dikatakan Alkitab. Alkitab
harus dipercayai melebihi penglihatan, perasaan dan pengertian. Alkitab juga
memiliki keutamaan lebih dari mimpi-mimpi, tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat).
Dalam
kaitan dengan otoritas Alkitab pendirian Lutheran tentang kedudukan Alkitab
sebagai otoritas tertinggi di atas Paus dan gereja juga tidak diungkapkan
secara spesifik. Namun secara implisit Alkitab dijadikan norma tertinggi dalam
menilai dan menyikapi pokok-pokok yang dipersoalkan. Ekspresi yang lebih
eksplisit baru diberikan, misalnya, pada akhir bagian "Pasal-pasal tentang
Iman dan Ajaran", tetapi tetap dalam bentuk yang diwarnai keinginan untuk
berdamai: "Kira-kira demikianlah rangkuman ajaran-ajaran yang diberitakan
dan diajarkan dalam gereja-gereja kami ........ Oleh karena ajaran ini jelas
didasarkan pada Kitab Suci dan tidak bertentangan atau berlawanan dengan ajaran
gereja Kristen yang am, atau bahkan dengan Gereja Roma (sepanjang ajarannya
tercermin dalam tulisan-tulisan Bapa Gereja), kami berpendapat bahwa para
penentang kami tidak dapat berselisih dengan kami dalam pasal-pasal yang
dikemukakan di atas.[19]
Sesuai
dengan pendekatan inkarnasional terhadap Alkitab, maka Luther tidak mengabaikan
sisi manusiawi dari Alkitab. Pada satu pihak Luther dapat mengatakan bahwa
setiap iota dari Alkitab adalah suci, sementara pada pihak lain ia justru tidak
begitu peduli dengan kesalahan-kesalahan kecil yang terdapat dalam Alkitab,
misalnya kekeliruan dalam mengutip nats-nats Perjanjian Lama oleh Perjanjian
Baru. Bagi Luther sama seperti Kristus dalam inkarnasi tidak lepas dari sifat-sifat
manusia, demikian juga Alkitab sebagai medium firman Allah tidak bebas dari
keterbatasan-keterbatasan manusiawi. Itulah sebabnya dalam terjemahannya Luther
dapat melawan godaan untuk menyelaraskan kutipan-kutipan dari kitab-kitab para
nabi di dalam Perjanjian Baru dengan teks dari Perjanjian Lama.[20]
Bagi
Luther firman itu adalah yang pertama dan yang terakhir difirmankan, yakni
pernyataan yang hidup yang terjadi pada situasi tertentu. Tetapi firman yang
hidup pada saat yang sama adalah perkataan yang terbatas karena isinya adalah
perkataan para Rasul itu. Kritus telah memerintahkan para Rasul untuk
menyebarkan kabar bahwa Ia adalah jurusalamat dan untuk mengajarkan keselamatan
kepada dunia. Untuk maksud ini Ia telah menjanjikan dan telah memberikan mereka
Roh Kudus, maka para Rasul dalam proklamasinya tentang Kristus adalah guru yang
sah dan tidak salah. Semua pernyataan orang Kristen hanya bisa meneruskan dan
menjelaskan perkataan Rasul ini. Pengajaran dari para Rasul adalah sumber dan
secara konstan adalah stardar dari Firman yang dinyatakan oleh gereja.
Proglamasi dari pada rasul sejatinya juga merupakan firman yang dikatakan
karena injil bukan hanya sekedar kebenaran namun berasal dari kebenaran yang
sesungguhnya. Karena injil bukan sekedar dari komunikasih dari kebenara dimana
seseorang bisa mempelajari dengan membacanya saja namun lebih kepada panggilan
manusia. Karena alasan ini bentuk utamanya adalah proglamasi yang dibicarakan.
Firman yang dibicarakan bukanlah bentuk awal dari Kitab Suci dan firman yang
tertulis bukan bentuk yang lebih berkembang di atas firman yang hidup. Kitab
Suci memiliki sumber dan eksis demi proglamasi yang lisan. Kitab Suci yang
tertulis diperlukan karena bahaya ajaran sesat dapat mebelokkan pesan-pesan
rasuli. Maka kekristenan perlu memiliki (Kitab Suci) peringatan yang bertahan
dari pengajaran Rasul dalam bentuk tertulis. Ini juga membuat jemaat lebih
indefenden kepada guru-gurunya, karena guru-guru bisa juga gagal dan menjadi
guru palsu, dan memiliki standar dimana mereka bisa mengkritik dan mengkoreksi
pengajrannya, Kitab Suci menyediakan ini. Wibawa dan otoritas Alkitab itu sendiri
bukan diciptakan oleh tafsiran manusia namun bagi luther Alkitab Perjanjian
Lama dan PB merupakan firman dan suara yang hidup merupakan suatu kesatuan.
Melalui isisnya Kitab Suci telah menjadikan diriNya sendiri berotoritas, karena
isinya adalah tentang Kristus. Ini berarti di dalam Roh Kudus Kristus telah
mengotentikkan dirinya sebagai kebenaran dan di dalam Kitab Suci. Kitab Suci
adalah ratu yang menguasai semuanya dan dimana semuannya harus takluk dan
menaati. Tidak ada seorangpun, siapapun dia diperbolehkan untuk menguasai dan
menghakimi Kitab Suci, tetapi hanya untuk menyaksikannya, pemuritan dan
pengakuan. Ini berarti tidak ada seorangpun bisa mengesahkan Kitab Suci, karena
Kitab Suci mengesahkan dirinya sendiri. [21]
Apa yang disampaikan
oleh Luther memang sebuah pemahamannya sebagai orang yang menghormati Alkitab
sebagai wibawah tertinggi namun bagaimanakah dengan teologi kontemporer yang
akan kita maksdukan ini karena kontemporer adalah gagasan post-strukturalisme
yang lahir sebagai sekularisme modern.
Menurut Klein, gagasan kontemporer terhadap kebenaran adalah jamak. Pemikiran
ini mendukung ideologi pluralisme dimana tidak ada satu agama atau cara pandang
(worldview) yang mengandung kebenaran mutlak. Hal ini tentu saja menggugat
hakikat Alkitab sebagai sebuah kebenaran dan satu-satunya kebenaran mutlak.
Dalam pandangan ini, Alkitab diperlakukan sama dan sederajat dengan kitab-kitab
lain dan tidak eksklusif diterima sebagai satu-satunya penyataan khusus Allah
kepada manusia. Padahal menurut Erickson, Alkitab adalah buku yang berbeda
karena Alkitab mencakup baik kehadiran Allah sendiri maupun kebenaran yang
menginformasikan tentang diri-Nya.[22]
Tentu saja sebagai buku
yang merupakan penyataan khusus Allah, Alkitab memiliki wibawa dan otoritas.
Kontemporer justru menggugat kebenaran mutlak akan kewibawaan dan otoritas
Alkitab tersebut. Kedua, pendekatan kontemporer terhadap teks, sangat bertentangan
dengan natur utama hermenetik yaitu eksegesa. Pendekatan hermenetik kontemporer
bukanlah teks atau konteks melainkan apa yang menjadi pikiran atau wawasan
pembaca saat membaca teks Alkitab. Metodologi ini membuka ruang yang
selebar-lebarnya untuk rekontekstualiasi, sesuatu yang sangat berbahaya dan
membelokkan kebenaran menurut kemauan penafsir, yang oleh Lim disebut
hermeneutical pitfalls.[23]
Mengapa disebut
berbahaya, karena penafsir hanya akan memperlakukan teks Alkitab sebagai
kumpulan dari ide-ide manusia belaka dan menolaknya sebagai ide Allah yang
diinspirasikan kepada manusia. Mengapa hal
ini terjadi? Kembali kepada pemikiran Derrida, konsepnya tentang Allah
telah mengalami dekonstruksi. Arti Allah bagi Derrida menurut salah seorang
komentator, John D. Caputo dalam Deconstruction
in a Nutshell, adalah sesuatu “Yang Lain”, maksudnya Allah dapat disebut
dengan nama lain seperti “keadilan, keramahan, kesaksian, anugerah dan
demokrasi. “Karena Allah adalah nama yang lain, tiap yang lain, tidak peduli
siapa.”[24]
Dekonstruksi sebagai
salah satu natur dari kontemporer memberikan ruang untuk membongkar struktur
dan membentuknya kembali dengan menerima hal-hal marjinal. Tentu saja hal ini
tidak dapat diterima dalam konteks finalitas kanon Alkitab. Kitab, ayat dan isi
Alkitab sudah selesai dan tidak dapat dikurangi atau diganggu gugat. Demikian
juga dengan kebenaran yang diberitakannya baik di dalam Perjanjian Lama maupun
di dalam Perjanjian Baru. Tidak ada hal yang perlu dipertanyakan lagi. Bahaya
dari dekonstruksi adalah sikapnya yang terbuka untuk menerima kebenaran di luar
struktur dan dianggap sebagai hal yang mungkin lebih benar dibandingkan yang
selama ini diyakini benar. Jika ini diterapkan terhadap Alkitab, maka hal itu
sama saja dengan arti menolak kanon, menerima surat-surat yang pernah ditolak
oleh kanon dan menolak kebenaran yang diungkap di dalam kanon resmi. Maka
tidaklah mengherankan, di abad 21, berbagai pemikiran sebagai produk
dekonstruksi mengalir sebagai arus yang kuat. Penerimaan terhadap konsep
alternatif mulai muncul. Beberapa penerbit mulai secara konsisten
mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dulu dianggap sebagai bidat oleh
Bapa-bapa Gereja. Naskah-naskah “alternatif” itu kemudian disandingkan sebagai
upaya dekonstruksi terhadap finalitas kanon Alkitab.[25]
Hendrick Hart, profesor
ICS, yang dikutip Ronald Nash, menyatakan “Alkitab sama sekali bukan Firman
Allah, tetapi hanya merupakan contoh yang diilhami secara otoritatif dari
penyataan Firman”. [26]
Alkitab
adalah kitab yang penuh dengan mitos merupakan serangan umum yang dilontarkan
para kritikus Alkitab kontemporer. Alasannya, banyaknya cerita tentang mujizat
yang ditemukan dalam halaman-halaman Alkitab. Bagi mereka, mujizat tidak
mungkin terjadi. Alasan lainnya, keparalelan, misalnya cerita Alkitab tentang
banjir dengan cerita yang ditemukan dalam mitologi Babel. Juga fakta bahwa ada
kemiripan antara peristiwa-peristiwa pada zaman Yesus dengan gambaran dewa-dewa
yang didapatkan dalam mitologi Yunani.[27]
Demikian juga dalam
perkembangan selanjutnya, sepertinya Alkitab mengajarkan pandangan tentang
realitas yang jelas bertentangan dengan hasil penyelidikan ilmiah modern yang
meyakinkan. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa Alkitab mengajarkan
pandangan yang primitif dan tidak ilmiah mengenai alam semesta yang tidak lagi
sesuai untuk manusia modern.[28] Paul Tillich
lebih merupakan seorang filsuf daripada teolog; ia berbicara tentang ide dan
konsep bukan peristiwa-peristiwa sejarah dari Kitab Suci, Karena alasan ini,
Tillich memberikan lebih banyak kepercayaan pada penalaran manusia, Pendekatan
penafsirannya pada Kitab Suci merupakan semacam alegorisme modern, la
memberikan arti yang baru pada kata-kata Alkitab, la menyangkali personalitas
Allah dan menyebut-Nya hanya sebagai "Dasar yang Paling Terakhir dari
Keberadaan" Dosa pribadi dan pemberontakan melawan Allah ditolak, demikian
pula peristiwa sejarah dari Kejatuhan di Eden, Dosa manusia merupakan tidak
adanya keprihatinan, Keselamatan bukan di dalam pribadi historis Kristus, tetapi
di dalam suatu simbol; Yesus Kristus bukan pribadi historis dari Kitab Suci
dalam teologi Tillich. Keselamatan bukan melalui penebusan untuk dosa, tetapi
melalui keprihatinan yang paling tinggi.
Pendekatan Tillich terhadap Kitab Suci menyalahi semua doktrin utama dari iman Kristen, yang secara historis telah dipercayai selama ini. Bukan hanya beliau, namun Konsep John A. T. Robinson tentang Allah banyak kesamaan dengan Paul Tillich.
Robinson menolak doktrin Allah yang berpribadi demikian pula ketransendenan-Nya. la menyamakan Allah dengan alam semesta. Ia telah menyekularisasikan Kekristenan dengan usahanya untuk membuat terminologi yang lama dapat dipahami dan disesuaikan dengan pemikiran modern. Akibatnya, bahkan doa pun ditolak dan digantikan dengan keterlibatan sosial. Doktrin Kristus Robinson juga tidak ortodoksi. Dalam penolakannya terhadap inkarnasi, ia mengatakan bahwa Yesus tidak mengklaim diri-Nya sebagai Allah. Bagi Robinson, keselamatan adalah "kehidupan dari 'seorang manusia untuk orang lain', kasih di mana kita dibawa sepenuhnya menjadi satu dengan Dasar dari keberadaan kita ".
Teologi radikal Robinson tidak memiliki kesamaan dengan iman Kristen yang historik. Teologinya menyalahi arti normal dari kata-kata dan inti hermeneutik historik.
Pendekatan Tillich terhadap Kitab Suci menyalahi semua doktrin utama dari iman Kristen, yang secara historis telah dipercayai selama ini. Bukan hanya beliau, namun Konsep John A. T. Robinson tentang Allah banyak kesamaan dengan Paul Tillich.
Robinson menolak doktrin Allah yang berpribadi demikian pula ketransendenan-Nya. la menyamakan Allah dengan alam semesta. Ia telah menyekularisasikan Kekristenan dengan usahanya untuk membuat terminologi yang lama dapat dipahami dan disesuaikan dengan pemikiran modern. Akibatnya, bahkan doa pun ditolak dan digantikan dengan keterlibatan sosial. Doktrin Kristus Robinson juga tidak ortodoksi. Dalam penolakannya terhadap inkarnasi, ia mengatakan bahwa Yesus tidak mengklaim diri-Nya sebagai Allah. Bagi Robinson, keselamatan adalah "kehidupan dari 'seorang manusia untuk orang lain', kasih di mana kita dibawa sepenuhnya menjadi satu dengan Dasar dari keberadaan kita ".
Teologi radikal Robinson tidak memiliki kesamaan dengan iman Kristen yang historik. Teologinya menyalahi arti normal dari kata-kata dan inti hermeneutik historik.
Alkitab dikatakan penuh
dengan ketidaksesuaian yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Ada
beberapa bagian Alkitab yang saling bertentangan sehingga menimbulkan ketidak
akuratan dalam hal penulisannya. Misalnya tentang jumlah malaikat yang yang
hadir di kubur Yesus pada peristiwa kebangkitan.[29]
Ada banyak sarjana
Alkitab dan arkeologi yang berupaya untuk menemukan ketidaksesuaian antara
catatan dan fakta sejarah yang terdapat dalam Alkitab yang dibuktikan dengan
penelitian sejarah yang akurat didukung oleh bukti-bukti arkeologis.[30]
Alkitab menyatakan diri
sebagai Firman Allah tidaklah cukup untuk membuktikan pengakuan tersebut.
Werner Georg Kummel menyatakan bahwa Alkitab merupakan salah satu buku yang
ditulis oleh manusia, sehingga buku itu sama seperti semua hasil pikiran
manusia yang masih harus dibuktikan kebenarannya.[31]
Francis Bacon (1561-1624), seorang filsuf empiris, melalui bukunya NOVUM
ORGANUM (1620) ia berhasil membangun dasar kritik modern terhadap Alkitab.
Menurutnya, segala kebenaran hanya dapat diperoleh secara induktif (melalui
pengalaman dan pikiran yang didasarkan atas impiris dan kesimpulan melalui hal
yang khusus kepada hal yang umum. Baginya cara induktif cocok untuk semua
bidang ilmu.
Untuk Alkitab Bacon mengatakan : (a) Alkitab tidak memberi fakta apapun
mengenai dunia fisika. (b) Alkitab adalah buku yang hanya berguna bagi
kesalehan, yang memimpin kepada sikap menghormati dan mentaati Allah, tetapi
tidak berarti mengenal Allah secara obyektif dan benar.
Pendukung yang begitu dekat adalah Inti utama dari neo-ortodoksi adalah
sebagai berikut." Alkitab bukan wahyu, tetapi kesaksian dari wahyu; hal
itu tidak sama secara objektif dengan Firman Allah; wahyu Allah bukan dalam
perkataan. Yesus Kristus adalah poin fokal dari wahyu Allah: manusia berjumpa
dengan Allah dalam pengalaman perjumpaan dengan Yesus Kristus.
Peristiwa-peristiwa dari Kitab Suci, seperti kebangkitan Kristus, diistilahkan
geschichte, "cerita", sebagai kontras dengan historie,
"sejarah". Geschichte menunjuk pada ketransendenan, kebenaran
berdasarkan pengalaman akan Allah yang tidak dipengaruhi oleh kebenaran atau
kekeliruan yang merupakan karakteristik dari partikular historie yang terikat
dengan bumi. Historie secara historis dapat diverifikasi, karena itu, level
yang lebih rendah dari Kitab Suci di mana kesalahan-kesalahan dapat dan telah
ditemukan.
2.8.
Analisa
Sebagai
seorang dogtor Kitab Suci pastilah Luther menjungjung tinggi nilai kitab itu
secara utuh. Sehingga Alkitab diyatakan memiliki wibawah yang memang dengan
sendirinya. Alkitab adalah firman yang memang diwahyukan melalui penulisnya
manusia, namun sebagai firman ia tetap memiliki kuasa. Namun teologi
kontemporer melihat bahwa teologi Alkitab itu adalah bagian yang tidak
terpisahkan dengan ilmu filsafat dan cenderung mengarah kepada nilai-nilai
etika tanpa memiliki karya Ilahi. Sebagai prinsip yang mengembangkan filsafat,
humanis, dan rasinalisme Alkitab bukanlah bagian dari wahyu namun kitab yang
biasa. Itu artinya paham itu mengangap wibawah itu berada dan ada dalam buku
itu namun sebagai pedoman hidup tanpa melihat nilai-nilai Ilahi. Oleh karena
itu jelaslah pandangan teologi kontemporer menganggap Kitab Suci adalah tulisan
manusia. Tulisan manusia yang penafsir lihat adalah hanya sampai kepada upaya
dan karya manusia itu sendiri tanpa melihat sisi Ilahi yang tadi.
Bila
berbicara mengenai wewenang Alkitab, kita maksudkan bahwa Alkitab sebaga ucapan
kehendak Allah bagi umat-Nya, dimana ucapan tersebut memiliki hak mutlak, apa
yang harus kita imani. Aka tetapi wewenang yang dimaksudkan disini ialah hak
untuk menuntut kepercayaan atau tindakan tertentu. Setidaknya ada wewenang yang
harus kita miliki disini adalah berkaitan denan iman kita adalah wewenang
berkaitan dengan keagamaan.Karena, bila kita memutuskan berbicara wewenang
keagamaan maka tidak ada lembaga tertentu, atau dokumen tertentu yang memiliki
hak untuk mengatur kepercayaan kita, dalam arti yang mendasar. Oleh karenanya
dengan wewenang itu maka kita, sebagai pribadi berhak untuk menetapkan maka dan
asal-usil ilahi Alkitab, maksudnya disini kita dapat menafsirkan gunan memahami
dan kita berhak secara bebas untuk menggeli guna mengetahui makan yang
terkandung dari kebenaran Alkitab kita.
Alkitab berasal dari Allah dan
merupakan amanat Allah kepada umat manusia. Masalah-masalah yang terjadi dalam
merumuskan teori pengilhaman yaitu cara kita mendayagunakan Alkitab akan
dipengaruhi oleh pemikiran kita tentang sifatnya, mengkritik, mengubah,
pengertian yang disajikan Alkitab, perbedaan-perbedaan yang terjadi diantara
teori-teori pengilhaman injili, sifat dan tingkat pengilhaman, bisa dideteksi,
menggunakan sumber-sumber sejarah. Ada beberapa cara pemecahan
persoalan-persoalan yang telah diajukan : teori naluri, teori pencerahan, teori
dinamik, teori verbal, dan teori pendiktean. Metode yang digunakan untuk
menyusun doktrin pengilhaman yaitu menekankan perikop-perikop didaktik
(menguraikan dan mendefenisikan pengudusan) dan melihat kasus-kasus aktual
dalam kehidupan orang-orang Kristen dan berusaha untuk menentukan hasil tentang
pengudusan. untuk menganalisa hal di atas ada beberapa yang penyeminar sampaikan:
1. Historis-Kritis didasarkan atas keputusan: Melihat Alkitab sebagai sebuah
dokumen sejarah agama kuno, yang harus
dinilai dan dikritik oleh akal manusia. Para teolog Historis Kritis menyadari bahwa Alkitab sangat berarti bagi gereja sebagai kanon kitab kudus, namun mereka
tidak mampu menghargai Alkitab sebagai firman Allah atau sebagai wahyu yg
diilhamkan oleh Roh Kudus.
2. Bertentangan
dengan kitab, . kritis bertumpu pada pikiran
monisme: hanya ada satu-satunya dunia
yang real, yaitu dunia yang nampak.
Dunia yang tak tampak, secara real tidak ada (kecuali mungkin itu Allah
sendiri). Itu hanya bersifat gambaran atau mitos. Karena itu apa yang ditulis
dalam Alkitab, misalnya Yesus datang dari surga, dilahirkan oleh anak dara,
dll, bukan peristiwa yg bersifat historis-real, melainkan gambaran sesuai
dengan cara berpikir manusia kuno (berarti sebagai mitos). Itulah ciri bidat. Semua itu dicela/ditentang firman Allah (2Ptr 3: 3-4;1Yoh 2: 22-23; 4:2-3)
3. Teologi
mereka tidak dibangun di atas dasar Yesus, karena bagi mereka Yesus yang hadir
itu Yesus yang sebagai nilai historika
4. Penulis
kitab (humanisme)
Alkitab tidak dapat memberitahukan wahyu apapun, sebab dalam Alkitab yang
tidak masuk akal (absurd), mustahil. Misalnya, Keilahian Yesus Kristus, Allah
Tritunggal. Percaya kepada hal-hal yang absurd merupakan kepercayaan yang buta. Karena bagi
mereka nilai Alkitab dianggap sebagai nilai yang benar melalui akal dan
rasional manusia itu sendiri.
Oleh karena itu dapat kita sampaikan
kedudukan dan wibawh Alkitab itu tetap memiliki wibawah hanya saja sebagai
orang yang menemukan pendapat dan pemahaman kontemporer menilai bahwa wibawah
itu diakui sebagai sumber pengetahuan dan sumber perbuatan baik. Bukan seperti
apa yang disampaikan Luther bahwa wibawah itu terdapat sebagai Ilahi yang
diwahyukan melalui Roh Kudus.
III.
Kesimpulan
Sebagai
orang yang mendominasi pemikiran dan pemahaman filsafat dan historis teologi
kontemporer menitik beatkan bahwa Alkitab adalah sebuah tulisan biasa dan tidak
memiliki nilai Ilahi. Namun sebagai kristen yang setia maka ia hadir
mennunjukkan bahwa Alkitab itu adalah firman yang hidup dan berkuasa.
Kewibawahan Alkitab itu seharusnya dinilai bukan saja hal sebagai sumber
pengetahuan dan fisafat, namun dianggap sebagai wibawa Alkitab adalah wahyu dan
Alkitab itu adalah firman Allah, firman itu disebut bukan hadir dari manusia
namun firman itu ada sebagaimana Alkitab itu sendiri memiliki wibawanya sebagai
firman.
IV.
Daftar
Pustaka
Althaus
Paul, The Theology of Martin Luther,
USA:Fortress Press, 1979
Bainton R., Here I Stand: A Life of Martin
Luther, New York Abingdon Press, 1950
Braaten
Carl E., Principles Of Lutheran Theology,
Philadelphia: Fortpess Press, 1989
Collins
Gerald O’, SJ, Kamus Teologi, Yogyakarta:
KANISIUS, 1996
Dister
Niko Syukur, Pengantar Teologi, Jakarta:
BPK-GM, 1990
Donnel
Kevin O., Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2009
Erickson
Millard J., Teologi Kristen Volume Satu
Malang: Gandum Mas, 2004
Groothuis
Douglas, Jesus In An Age of Controversy, Eugene, OR: Wipf and Stock
Publishers, 1996
Hadiwijono
Johnson T.K. Lim, Hebrew, Hermeneutics and Homiletics: Collected Works with
New Essays and Sermons of Johnson T.K. Lim , Hongkong: ABGTS Publication,
2010
Harun,
Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2010
Karman
Yonky, Kanon Dan Tafsir Alkitab dalam
Forum Biblika, Jakarta: LAI, 2000
Koehler
Edward W.A., Intisari Ajaran Kristen, Pematang
Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2010
Konfesi Augsburg, Jakarta:BPK Gunung Mulia,
1993
Kooiman
W.J., Martin Luther, Jakarta:BPK-GM,
2009
Linemann
Eta, Teologi Kontemporer: Ilmu atau
Praduga?, Batu: I-3, 1991
Nash
Ronald H., Firman Allah dan Akal Budi
Manusia, Jakarta: Momentum, 2008
Niftrik
G.C. van & B.J. Boland, Dogmatika
Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 2008
PoerwadarmintW.J.S.
o, KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Sproul
R.C., Mengapa Percaya?, Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1999
Walls
A.F., “Kitab Suci”, dalam J.D.
Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
A-L, Jakarta: YKBK, 1988
Weck
G. Johanes Botter, Theological Dictionary
of the Old Teestament, Michigan: Grand Rapids, 1984
Sumber
internet
http://haleluuyah.wordpress.com/bahan-theology-kontemporer/
[1] http://ferrykeintjem.wordpress.com/2011/04/07/sola-scriptura/ diakses pada hari/tanggal rabu,
Oktober 2013
[2] W.J.S. Poerwadarminto, KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hlm.
27
[3]Gerald O’Collins, SJ, Kamus Teologi, Yogyakarta: KANISIUS,
1996, hlm. 145
[4]G. Johanes Botter Weck, Theological Dictionary of the Old Teestament,
Michigan: Grand Rapids, 1984, hlm. 372-373
[5]A.F. Walls, “Kitab Suci”, dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini A-L, Jakarta: YKBK, 1988, hlm. 567
[6] Yonky Karman, Kanon Dan Tafsir Alkitab dalam Forum
Biblika, Jakarta: LAI, 2000, hlm. 15-16
[7] Edward W.A. Koehler, Intisari Ajaran Kristen, Pematang
Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2010, hlm. 4
[8] Niko Syukur Dister, Pengantar Teologi, Jakarta: BPK-GM,
1990, hlm. 163-167
[9] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2010,
hlm. 67-70
[10]Carl E. Braaten, Principles Of Lutheran Theology, Philadelphia:
Fortpess Press, 1989, hlm. 3-8
[11]Paul Althaus, The Theology of Martin Luther,
USA:Fortress Press, 1979, hlm. 7-8
[13] http://haleluuyah.wordpress.com/bahan-theology-kontemporer/ diakses
pada/hari, Rabu, 23, Oktober , 2013
[14] http://haleluuyah.wordpress.com/bahan-theology-kontemporer/ diakses
pada/hari, Rabu, 23, Oktober , 2013
[15] G.C. van Niftrik & B.J.
Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta:
BPK-GM, 2008, 399.
[16] W.J. Kooiman, Martin Luther, Jakarta:BPK-GM, 2009,
hlm. 34
[17] R. Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther, New York Abingdon
Press, 1950, hlm. 96
[18] http://ferrykeintjem.wordpress.com/2011/04/07/sola-scriptura/, diakses pada/hari, Rabu, 23, Oktober , 2013
[19] Konfesi Augsburg, Jakarta (BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 43
[20] R. Bainton, Op,Cit, hlm. 331
[21] Paul Althaus , Op,CiT, hlm. 72-75
[22] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume Satu Malang:
Gandum Mas, 2004, hlm. 315.
[23] Johnson T.K. Lim, Hebrew,
Hermeneutics and Homiletics: Collected Works with New Essays and Sermons of
Johnson T.K. Lim , Hongkong: ABGTS Publication, 2010,hlm. 210.
[24] Kevin O. Donnel, Postmodernisme,
Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 134
[25] Douglas Groothuis, Jesus In
An Age of Controversy, Eugene, OR: Wipf and Stock Publishers, 1996, hlm.
19
[26]. Ronald H. Nash, Firman Allah dan Akal Budi Manusia,
Jakarta: Momentum, 2008, hlm. 160.
[27] R.C. Sproul, Mengapa Percaya?, Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara, 1999, hlm. 10
[28] Ibid.,hlm. 13
[31] Eta Linemann, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga?,
Batu: I-3, 1991,hlm. 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar