Kamis, 11 Oktober 2018

Wibawah Alkitab


Nama              : Ikotison Marpaun
WIBAWA ALKITAB MENURUT MARTIN LUTHER
(Suatu Tinjauan Dogmatis Terhadap Wibawa Alkitab Menurut Martin Luther dihubungkan dengan Teologi Kontemporer)
I.                   Pengantar
Dalam pergolakan akan pengertian Alkitab pada saat ini cukup berkembang bahkan bagi sebagian orang Alkitab adalah sebuah kitab yang dituliskan oleh tangan-tangan orang berdosa dan Alkitab itu memiliki kekurangan. Dengan itulah ada sebuah asumsi bahwa Alkitab itu bukanlah firman Allah. Setelah Alkitab hadir dengan Kanonnya Gereja mula-mula dalam pertumbuhan dan perkembangannya menghadapi dan  mengalami berbagai tentangan dan hambatan  baik dari dari dalam gereja  maupun dari luar gereja. Dalam menghadapi yang dari luar gereja , orang-orang  Kristen mampu dan berani menghadapinya  sekalipun mereka harus mengalami bebagai penderitaan, penganiayaan serta penyiksaan-penyiksaan yang beresiko  kehilangan nyawa, menjadi martir. Dari dalam, gereja menghadapi tantangan yang tidak kalah bahaya,yaitu munculnya ajaran-ajaran sesat yang mau menyimpangkan gereja dari’ Yesus sejati’ dan ‘Injil Sejati’ seperti: Ebionite, Doketisme, Antinomianisme, Gnostik, Arianisme, dll…Untuk menghadapi hal-hal ini Gereja memperlengkapi diri dengan berbagai mekanisme atau yang disebut oleh Berkhoff & Enklaar sebagai senjata-senjata Gereja untuk melawan dan membendung ajaran-ajaran sesat itu, melalui: Konsili, Kanon Kitab-suci, Pengakuan Iman, dan Pewarisan Jabatan Rasuli (suksesi rasuli, apostolik succession) serta disiplin gereja.[1]
Pengkanonan Alkitab adalah hasil dari sebuah pergumulan atau tantangan yang ada dan dikanonkan dalam menjawab konteks yang ada. Namun setelah Alkitab diakui sebagai pedoman hidup bagii kekirtenan perkembangan-perkembangan zaman yang merajalela dan mencoba mengikis nilai itu sendiri. Perkembangan itu dapat kita lihat pada masa pencerahan dimana berkembangnya ilmu filsafat, rasinalisme dan Humanisme dlln. Sehingga sentara dari sebuah kebenaran diukur dari beberapa hal yang disebutkan. Hal inilah yang mengoyangkan kedudukan Alkitab dan Wibawa Alkitab sebagai hal yang harus dijunjung dan dihormati sebagai wahyu/penyataan Allah. Dalam perkembangan itu juga kita tidak hanya berpikir tentang perkembangan Alkitab, Namun dalam perkembangan Teologi Kontemporer juga sudah berkembang dan memiliki banyak warna. Nah... yang mau kita lihat adalah bagaimana Teologi kontemporer pada masa awalnya teologi itu muncul. Sehingga kita boleh simpulkan pendapat teologi kontemporer yang berwarna putih atau hitam. Apa yang dimaksud teologi kontemporer adalah bagaimana pandangan teologi ini yang memandang Alkitab itu sendiri pada masa awal bertumbuhnya teologi kontemporer itu.  

II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Alkitab Secara Umum
Alkitab yang secara singkat dapat dipahapi adalah Kitab Suci orang Kristen yang diakui sebagai kumpulan hikmat dan kebenaran. Alkitab juga dapat disebut dengan kitab atau buku pedoman. Atau bagi orang Islam kitab itu merupakan pedoman hidup mereka. Dalam KBBI Alkitab adalah Kitab Suci orang Kristen yang sebagai Kitab Suci, yang terdiri atas dua Perjanjian yang disebut dengan perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[2] Alkitab juga dihubngkan dengan sebuah Kitab Suci yang mengarah kepada buku, namun berisi pedoman-pedoman dan prilaku. Kitab Suci ini juga dalah wahyu Tuhan yang dibukukan hal ini disamakan dengan Alguran dan kitab-Kitab Suci lainnya. Di dalam bahasa inggris kata ini diterjemahkan dengan “Bible” yang artinya Tulisan-tulisan yang diilhami oleh Allah dan mengungkapkan iman Yahudi dan Kristiani yang normatif untuk segala zaman.[3]
Kitab dalam bahasa Ibrani disebut כָתַב (ḳȃṭab), digunakan juga katašațȃru      שֵׁתׇרKata tersebut berkembang menjadi: surat, dokumen, alkitab, tulisan, kitab. Ada dua kata yang dipakai untuk Kitab Suci.[4]Gramma yang artinya secara harafiah “huruf abjad”, digunakan dalam PB untuk ‘naskah’ (Luk 16:6; Kis 28:21) , untuk hukum dalam arti tertentu oleh Paulus (Rm 2:27,29; 7:6; 2 Kor 3:6), dan dalam bentuk jamak untuk “tulisan-tulisan” Musa (Yoh 5:47), untuk pengajaran keagamaan atau duniawi (Yoh 7:`15), dan hanya sekali dalam kalimat τα ‘ειρα γραμματα (ta heira grammata) “kitab-Kitab Suci” (2 Tim 3:15). Dalam bahasa Yunani γαφαι sama arti dengan Kitab Suci, atau kumpulan dari buku-buku pribadi. Dalam bahasa Ibrani כּׅתְבֵי  הַקֹּדֶשֹ Kitab Suci  . Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Kitab Suci adalah kitab yang suci yang khusus berarti tulisan penting tertentu. Dalam PB digunakan 50 kali untuk menunjuk “Alkitab” dalam arti teknis yang pada umumnya berarti PL.[5]

2.2. Alkitab dan Kanon
Kanon Kitab Suci (Yun kanon  κανον daftar, aturan, standat) yang merujuk kepada kumpulan kitab-kitab yang diterima umat sebagai yang memiliki otoritas firman Allah, dan karena itu, menjadi tolak ukur tertinggi bagi umat. Sehingga Kanon Alkitab merupakan otoritas yang Ilahi, sehingga dari kitab-kitab itu dikenali dan diakui memiliki otoritas firman Allah. proses itu pastilah memakan waktu yang lama dalam mengkanonkannya dan melibatkan faktor-faktor manusiawi, istitusional, dan dalam pemahaman konservatif, tidak terlepas dari bimbingan Roh Kudus. Secara sederhana Allah lah yang lebih dahulu mengilhami para penulis dan membimbing umatNya untuk mengenali kitab-kitab sebagai firman Allah.[6]. Sesudah Kitab Suci terbentuk, umat tidak mempersoalkan otoritas dari kitab-kitab kanonik. Konsep kanon baru lahir kemudian sebagai respon terhadap pendekatan modern historis kritis atas Alkitab pada zaman pencerahan yang berusaha menganalisis Alkitab secara Kritis. Sejak  itu, kanon Alkitab dan otoritasnya mulai dipersoalkan. Hasilnya pada abad ke 17 dan ke-18 muncul konsep kanon Kitab Suci, dimana penerimaan akan otoritas dari kitab-kitab kanonik dikukuhkan kembal oleh gereja atau sinagoga.
           
2.3. Alkitab Sebagai wahyu
Kita harus pahami bahwa Alkitab adalah sebuah tulisan manusia pada masannya dan orang yang berbeda-beda pula. Seperti halya penulis kitab Musa (Kejadian-Keluaran) dan sejumlah nabi lainya menulsiakn sekumpulan kitab di dalam Perjanjian Lama dalam bahasa-dan pemahamannya. Namun sebagai otority hanya sada SATU pengarang seluruh isi Alkitab, dan pengarang itu adalah Allah. Alkitab adalah Allah itu sendiri, yang tidak hanya berisi firman Tuhan, yang mencampuraduk dengan tambahan dan sisipan manusia disana sini, namun keseluruhanya adalah firman Allah. Sebagai kesatuan yang utuh Alkitab itu adalah sebuah ilham yang memang diterima setiap manusia. Segala tulisan diilhamkan Allah (2 Tim 3:16), selain itu “setelah pada masa Perjanjian Lama, Allah sebagai YAHWE berulang kali dan pelbagai cara berbiacara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan manusia yaitu para nabi dan pada zaman Baru Ia berbicara lewat AnakNya (Ibr 1:1,2)”. Dan semua orang yang menerima Ilham (wahyu) bukan sebagai perkataan manusia namun sunggu-sungguh demikina sebagai firman Allah (1 Tes 2:13).[7]
Objek yang sesungguhnya penyataan dan wahyu Allah terletak kepada Yesus Kristus yang sebagai manusia yang sama dengan manusia. Namun Yesus itu sebagai firman dan firman itu adalah Allah (Yoh 1:1). Dasar penusuran wahyu yaitu kehendak Allah yang jelas. Seperti wahyu didasari pada kehendak Allah yang ingin menyelamatkan semua orang (1 Tim 2,4), begitu pula penerusan wahyu didasari oleh kehendak penyelamatan yang sama. Demi keselamatan manusia, Tuhan mengendaki agar apa yang diwahyuhkan itu diteruskan secara utuh kepada semua angkatan, turun-temurun. Wahyu itu harus diwartakan sebagai firman Allah melalui para nabi dan rasuli-rasuli yaknni pewartaan tidak tertulis dan pewartaan tertulis. Bentuk penelusuran itu adalah :
-          Dengan perantaraan tidak tertulis
Dalam memahami point ini ada tiga hal yang perlu dijelaskan pertama, prioritas pewarataan tidak tertulis terlihat dari sudut pandang waktunya karena Kitab Suci didahului wahyu dari Allah itu sendiri. Kedua, dibawah bimbingan Roh Kudus, para rasuli mengembangkan ajaran Kristus. Sebagai manusia biasa memang tidak mampu menjelaskan ilhaman dari Allah namun sebagai penerima wahyu itu sendiri mereka tidak hanya mengulangi apa secara pribadi diajarkan oleh Kristus. Mereka juga sesuai dengan kebutuhan Gereja yang sedang tumbuh. Untuk semuanya itu mereka diterangi oleh ilham Roh Kudus. Setelah Yesus naik Ke Surga, Roh Kudus membimbing dan menerangi mereka untuk mendalami mereka seluruh misteri Kristus. Ketiga, Tradisi, tradisi yang dartikan adalah penerusan. Dalam konsili Vatikan II menaruh tekanan baru, dibanding tekanan yang ditaruh olh Vatikan I dan Trente. Dalam penulisan dan pewahyuan Alkitab memang dimuat kebiasaan dan pergaulan-pergaulan Yesus dan cara Yesus sebagai nilai penerusan yang dimaksudkan.  
-           Dengan perantaraan tertulis
Sebagai wahyu yang Ilahi sebenarnyalah itu dituliskan sebagai maksud dan tujuan pembukaan amanat keselamatan. Dengan itu (tulisan) hidup jemaat dan iman mereka sediri dan dalam cara hidupya melihat ilham itu sendiri. Dalam mehamai Kitab Suci baik Tradisi maupun kitab semuanya itu adalah berasal dari dasar ilahi yang sama yaitu karya sabda Kristus, dan dorongan Roh Kudus, maka berasal dari wahyu, dan dalam Kitab Suci wahyu yang disampaikan memalui kharisma inspirasi yaitu ilham Roh. Alkitab yang menampung wahyu, maka antara pewartaan tertulisa dan wahyu terdapat kaitan yang erat, tetapi bukan identifikasi. Alkitab tidak sama dengan wahyu, sebab hanya merupakan penyataan dalam bentuk dokumen tertulis. Dalam persolan pengarang sepatah kata bagi mereka adalah bukan hanya redaktur terakhir. Namun mereka/pengarang itu telah mencatat , menulis dan mengarang  bahan-bahan yang alkhirnya ditungkan dalam bentuk Kitab Suci yaitu Alkitab. Pertanyaannya apakah Alkitab itu sabda Allah?? yang membuat Kitab Suci itu sabda Allah ialah inspirasi, ilham Roh Kudus. Yang termasuk pengarang kitab itu merupakan inspirasi dari Roh yang memang bdipengaruhi kedaan dan kondisi si pengarang itu sendiri namun jelas semuanya itu adalah bimbingan Roh. Sebgaai pengarang juga kebal dengan kesesatan selama menulis (dalam arti wahyu) apa yang telah diwahyukan dalam tatanan keselamatan. Kitab Suci bukanlah sesuatu yang kebetulan saja namun berasal dari Allah.[8]

2.4. Sifat-sifat Alkitab
Sebagai gereja yang sudah pemahaman tersendiri dengan dogma nya hal yang sama juga para tokoh reformasi yang mencoba merumuskan keyakinan mereka bahwa Alkitab memiliki sifat-sifat nya sebagai beriku:
1.      Alkitab adalah berkuasa atau berwibawa
Gereja GKR mengakui, sama dengan gereja-gereja reformasi bahwa Alkitab berkuasa atau berwibawah, dan bahwa kuasa itu sedemikian rupannya, sehingga Alkitab tidak dapat salah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh GKR yang tidak melepaskan bahwa kebenaran Alkitab itu juga tidak terlepas dari Gereja pada masa itu. Karena bagi gereja GKR kekuasaan gereja tidak terlepas dari dogtrin-doktrin yang sudah ditetapkan oleh GKR. Karena gereja adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kuasa yang tidak dapat diganggu gugat, karena gereja tidak dapat salah. Namun bagi Rfeormasi gereja tidak berada diatas Alkitab, sebab gereja sesat seperti yang nyata dalam sejarah gereja. Maka gereja berada dibawah Alkitab itu sendiri, dan Alkitab mewujudkan instansi di atas gereja. Oleh karena itu Alkitab berkuasa, sehingga perlu diterangkan jadi yang berkuasa adalah berita atau kerygma, yaitu bahwa Yesus Kristus adalah Firman yang telah menjadi manusia untuk mendamaikan manusia dosa dengan Allah.  
2.      Alkitab adalah cukup
Dalam konsili di Trente (1546-1563) memutuskan bahwa kebenaran dan ajaran Kristus sebagian termuat di dalam kitab-kitab yang tertulis, dan sebagian termuat dalam tradisi yang tidak tertulis, yang telah diucapkan oleh Yesus dan yang telah diterima oleh para Rasul, dan sejak pada zaman rasul oleh karena pengilhaman Roh Kudus diteruskan ke tangan kepada manusia. Dan tradisi itu berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjutkan isi Alkitab, dan tradisi menambah kekurangan dari Alkitab. Memang hal di atas membawa kita kepada ketidak cukupan sebagai firman Tuhan yang utuh dan wahyu yang utuh. Gereja-gereja reformasi berpendapat bahwa Alkitab itu cukup, artinya cukup untuk memimpin orang kepada hidup yang kekal.
3.      Alkitab adalah jelas
Gereja GKR dan reformasi sama-sama mengakui Allahlah menjadi penulis Alkitab, namun GKR mendominasi bahwa Alkitab itu harus ditafsirkan oleh gereja itu sendiri karena gereja sebagai sentral. Namun sebagai reformasi yang berkembang itu maka gereja-gereja reformasi mengakui Alkitab adalah jelas. Memang banyak hal yang tidak terang namun jalan keselamata diteragkan di dalam Alkitab itu sendiri. Sehingga Alkitab terbuka bagi siapapun , yang pandai maupun bodoh, yang terpelajar maupun buta huruf. Firman itu tetap menjadi pelita bagi kaki kita dan terang bagi jalan kita (Mzm 119:105-130).[9]

2.5.Pengertian Alkitab Menurut Martin Luther
Pehaman yang umum Bagi Luther Alkitab itu adalah  Kitab Suci yang berasal dari saksi apostolik terhadap Kristus. Luther dan teman-teman reformatornya menerima otoritas Kitab Suci sebagai firman Allh. Untuk Luther Alkitab adalah buku dari janji yang mensirkulasikan firman yang dikotbahkan. Inti dari Kitab Suci adalah janji Injil yang dibawa untuk menggambarkan Kristus. Kitab Suci menyampaikan pemberian firman hidup dari keselamatan yang diberikan Kristus kepada yang menerimannya (penerima) melalui iman saja. Walaupun Lutheranisme awal memahami prinsip Kitab Suci Luther sebagai konfensional, namun dia tidak pernah membuang prinsip keutamaan Kitab Suci diatas konfesi. Prinsip yang sama juga dipakai Zwingli dan Calvin, dan dokumen-dokumen dari gereja Reformed. Ringkasan singkat dari posisi Kitab Suci terhadap Lutheranisme dan gereja Reformed mengindikasikan dua hal:
1. Keduanya secara keseluruhan setuju atas otoritas Kitab Suci
2. Bahwa konfesi gereja Reformed menggambarkan doktrin yang lebih detail dari Kitab Suci.
Untuk Lutheran otoritas Kitab Suci tinggal di dalam isi Injil itu sendiri. Kitab Suci berarti anugerah. Kitab Suci ditulis dari wahyu dimana Allah mengkomunikasikannya kapada nabi dengan inspirasi Roh Kudus. Allah adalah penulis sejati dari Kitab Suci; manusia adalah alat Allah untuk menghasilkan Kitab Suci. Kitab Suci itu secara keseluruhan bebas dari kesalahan dan ketidak sempurnaan. Roh Kudus mendiktekannya dalam berbagai bahasa. Nabi-nabi, penginjil dan rasul-rasul adalah sekretaris yang diinspirasikan.[10]Karena para rasul adalah pondasi dari gereja, kekuasaan mereka adalah dasar, tidak ada otoritas yang bisa mengimbanginya. Pengajar-pengajar di gereja bisa saja salah, namun Kitab Suci tidak akan salah. Dengan ini Luther menjunjung tinggi otoritas Kitab Suci sebagai Firman Allah. Bagi Luther Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan suara yang hidup adalah suatu kesatuan.[11]
Menurut Luther isi dari Alkitab adalah hukum dan injil. Sepanjang Kitab Suci menciptakan hukum itu mengarahkan manusia kearah Kristus sebagai juruselamat. Karena hukum diberikan sebagai persiapan terhadap Kristus dan membawa manusia kepadaNya. Maka Kitab Suci sebagai hukum dan Injil secara langsung dan tidak langsung adalah saksi Kristus. Dan dalam pengertian ini bahwa Kristus adalah isinya secara keseluruhan. Tidak semuanya Kitab Suci adalah injil namun mengandung injil disetiap bagiannya.
Mengenai keaslian Kitab Suci, Luther berkata karena Kristus adalah isi dari Kitab Suci, maka ini berarti bahwa di dalam Roh Kudus, Kristus mengautentikkan dirinya sendiri kepada manusia sebagai kebenaran dan membuat Kitab Suci menjadi autentik juga.  Luther melihat bahwa gereja telah berdiri di atas Kitab Suci. Kitab Suci adalah ratunya  yang menguasai semuanya dan semuanya harus tunduk dam mematuhinya. Tidak satupun, tidak peduli siapun dia yang diperbolehkan menguasai dan menghakimi Kitab Suci, sebaliknya semua harus menyaksikannya, memuridkannya dan mengakukannya. Ini berarti tidak seorangpun berada dalam posisi memvalidasi Kitab Suci, Kitab Suci itu sendiri yang memvalidasi dirinya. Bukanlah gereja yang berotoritas atas Kitab Suci, namun Kitab Suci yang berotoritas atas gereja.[12]

2.6.Pengertian Teologi Kontemporer
Teologi konteporer atau yang disebut juga dengan Teologi Modern adalah teologi Historis-Kritis, yaitu teologi yang di dasarkan pada keraguan/kecurigaan terhadap Alkitab. Alkitab tidak lagi diterima sebagai wahyu Allah/kebenaran yang diilhamkan, tetapi sebagaimana layaknya buku kuno yang harus dibuktikan kebenarannya, baik dari sisi sejarahnya maupun berita yang disampaikan di dalamnya. Dengan demikian Alkitab tidak diterima lagi sebagai satu-satunya sumber teologi dan menjadikan Filsafat sebagai sumber kedua yang pada akhirnya menggeser secara penuh kedudukan Alkitab. Karena Teologi ini tidak berdasar pada Allah dan Firman-Nya, maka melahirkan pemahaman teologi yang berbeda-beda antara satu teolog dengan teolog lainnya. Walaupun cukup ambigu memandang teologi kontemporer namun ada hal yang perlu diperhatikan, memang banyak teologi kontemporer yang ada sekarang ini, dari Aliran liberal dan kaum yang sudah dipengaruhi oleh pandangan Bart dan teologi lainya. Tetapi kita mau coba lihat teologi kontemporer yang bersifat liberar yang memandang Alkitab itu sebagai nilai pikiran saja. Dalam hal dibawah ini akan coba dibahasakan.
 Dengan demikian dapat kita katakan bahwa teologi kontemporer adalah:
a)      Bukan teologi Kristen karena telah menyimpang dari azas-azas teologi Kristen. Teologi Kristen adalah teologi yang azas utamanya ialah Allah dan Firman-Nya (Alkitab). Sementara itu lecture teologi kontemporer telah berpindah azas kepada manusia (humanisme) dan Filsafat masa pencerahan atau juga ilmu pengetahuan sosial. Jelas bahwa teologi Kontemporer bukanlah teologi Kristen bahkan pantas juga jika kitasebut “Bukan Teologi”.
b)      Bidat Kristen/antikristus. Saya sependapat dengan Eta Linneman bahwa teologi Kontemporer adalah bidat Kristen, sebab memang memenuhi syarat untuk disebut sebagai bidat, diantaranya adalah:
v  Memberitakan kebenaran baru yang selalu bertentangan dengan doktrin Alkitabiah.
v  Mendasarkan ajarannya di atas dasar selain Alkitab yang adalah Firman Allah. Mereka memakai buku-buku yang dikarang oleh pendiri aliran mereka.
v  Memberitakan Yesus yang lain dengan yang Injil beritakan.
v  Memberitakan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang Alkitabiah.[13]
Pemahaman yang real bahwa Teologi Kontemporer itu memiliki sifat khas tersendiri dan dipengaruhi dari hal-hal yang bertentangan dengan Alkitab. Dalam bukunya Linnemann, Eta, Teologi Kontemporer (Malang, Penerbit Institut Injili Indonesia, 1991). hal. 8-12 menuliskan sebagai berikut:[14]
  1. Teologi Kontemporer bersifat Teologi Universitas.
Universitas adalah sebuah sekolah. Kata "sekolah" ini diambil dari bahasa Romawi yang berarti "senggang" (leisure). Tujuan utama universitas bukan mempersiapkan orang untuk melayani atau bekerja. Yang menjadi sebab dan pendorong karya Mahaguru dan Mahasiswa adalah: menyelidiki segala yang dapat diselidiki untuk memperoleh pengertian dan pengetahuan. Dengan kata lain, mereka hanya ingin mengetahui untuk mengetahui, yaitu makan buah dari pohon 'pengetahuan'. Jadi, hasil pelajaran universitas tidak sesuai dengan kebutuhan gereja atau masyarakat sejauh universitas itu adalah universitas yang tulen, dan sungguh-sungguh ilmiah.
  1. Semua yang disebut Teologi Kontemporer adalah Teologi Historis-Kritis.
Semua Teologi Historis-Kritis didasarkan atas keputusan: melihat Alkitab sebagai sebuah dokumen sejarah agama kuno yang harus dinilai dan dikritik oleh akal manusia. Walaupun mereka mengetahui bahwa Alkitab sangat berarti bagi Gereja sebagai kanon kitab kudus, tetapi mereka tidak mampu menghargai Alkitab sebagai Firman Allah, atau wahyu Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus.
  1. Teologi Kontemporer tidak berdasar pada Alkitab.
Walaupun mereka semua memakai dan menggunakan Alkitab, tetapi dasar pikiran mereka bukan Alkitab melainkan filsafat. Mereka bersama-sama mempunyai azas yang diambil dari filsafat, namun masing-masing mendasarkan secara khusus pada suatu filsafat tertentu. Dalam tiap teologi historis- kritis, filsafat adalah dasar, dan dari Alkitab hanya bagian pilihan saja yang diterima dipakai sebagai 'lauk-pauk'. Tokoh-tokoh teologi kontemporer tidak memperhatikan peringatan-peringatan yang diberikan dalam Alkitab, misalnya: "Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus" (Kol 2:8). "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Rom 12:2).
Kalau harus dikatakan, asal mula dan dasar teologi kontemporer ialah bukan Wahyu Allah dalam Alkitab melainkan filsafat, itulah satu hal yang dahsyat dan ini berarti teologi kontemporer pada dasarnya bersifat atheistis dan anti-Kristus.
  1. Teologi Kontemporer yaitu (yang disebut) Teologi Historis-Kritis atau Teologi Modern adalah bidat.
Teologi historis-kritis keseluruhannya bertumpu pada pikiran monisme yang berarti: hanya ada satu-satunya dunia yang real, itulah dunia yang nampak. Dunia yang tak nampak secara real tidak ada (kecuali mungkin Allah sendiri), itu hanya bersifat gambaran atau mitos. Karena itu, apa yang ditulis dalam Alkitab mengenai Tuhan Yesus datang dari Sorga, dilahirkan oleh anak dara, bangkit dari antara orang mati, naik ke Sorga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa dan akan datang kembali, bukan peristiwa yang bersifat historis-real, melainkan gambaran sesuai dengan cara pikiran manusia kuno - mitos.
Dengan demikian, walaupun para teolog historis-kritis masing-masing membuat satu teologi tertentu yang berbeda satu dengan yang lain, tetapi semuanya dicela oleh Firman Allah dalam 1Yo 2:22-23: "Siapakah Pendusta itu? Bukankah dia yang menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus? Dia itu adalah antikristus, yaitu yang menyangkal baik Bapa maupun Anak. Sebab barangsiapa menyangkal Anak, ia juga tidak memiliki Bapa. Barangsiapa mengakui Anak, ia juga memiliki Bapa." Mereka juga dicela dalam 1Yo 4:2-3: "Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh yang tidak mengakui Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia". Juga ditulis mengenai mereka dalam 2Pe 3:3-4: "Yang terutama kamu harus ketahui ialah, bahwa pada hari zaman akhir akan tampil pengejek-pengejek dengan ejekan-ejekannya, yaitu orang-orang yang hidup menuruti hawa nafsunya. Kata mereka 'Di manakah janji tentang kedatangan-Nya itu? Sebab sejak bapa-bapa leluhur kita meninggal, segala sesuatu tetap seperti semula, pada waktu dunia diciptakan'."
Walaupun beberapa tokoh memilih hal ketidakpercayaan dengan sadar pada waktu mereka memulai usaha teologi historis-kritis, tetapi hampir semua tidak sadar, bahwa teologi historis-kritis bersifat ketidakpercayaan. Mereka hanya berpikir, bahwa itulah kepercayaan abad XX dan tidak ada pilihan lain bagi manusia modern.

2.7. Wibawa Alkitab menurut Martin Luther dan Teologi Kontemporer
Kewibawaan Alkitab tidaklah berasal dari sebuah keputusan rapat gereja seperti suatu negara menerima Undang-Undang Dasarnya via konstituante. Alkitab mempunyai kewibawaan rohani yang timbul dari isinya sendiri: Roh Kudus telah mengerjakan sedemikian rupa hingga gereja di masa lampau mendengarkan isi Alkitab dan selalu pula mendengarkannya sebagai Firman Allah. Asal dan sumber kewibawaan itu sendiri berasal dari Allah sendiri. Orang-orang beriman mengakui: disinilah dan hanya disini saja yaitu di dalam Alkitab, kita mendengarkan suara Tuhan. Calvin mengatakan bahwa bukti yang terbesar tentang kebenaran Alkitab terletak di dalam Allah sendiri yang bersabda dalam Alkitab itu. Bukti ini sah dan diterima oleh mereka yang hatinya telah diajar oleh Roh Kudus.[15]
Luther yang hadir sebagai sosok reformatoris melihat sebuah pemahaman yang kuat akan kewibawahan Alkitab itu. Pengenalanya itu dilanjutkan dengan sebuah gelar “Doktor Kitab Suci” hal ini juga diakukannya sebagai orang yang berjanji dalam menyatakan yang wajib membela kebenaran firman Allah dengan tulisan dan perkataan, dan merupakan sebagai pengangan yang kuat bagi sepanjang hidupnya. Taruhanya adalah tradisi gereja yang ia paparkan karena dengan setia dan murni menjungjung tinggi kewibawaan Alkitab itu maka ia mempunyai hal dalam membrontak terhadap Tradisi gereja. Luhter tidak lagi mengajarkan filsafat Aristoteles, bahkan ia tidak mengajarkan tentang hal-hal yang diluar Alkitab namun ia sebagai guru besar mengajarkan akan kedudukan Alkitab itu sebagai sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Bagi dia Alkitab itu adalah Kitab Suci yang sering disebut berdasar/atau hanya oleh Alkitab. Kesibukanya dalam menafsirkan dan meneliti Alkitab itu karena dianggap sebagai injil yang didalamnya nyata kebenaran, yang bertolak dari iman dan  memimpin kepada iman (Rom 1:7)[16]
Dalam sebuah introgasi dengan Kardina Cajetanus di Augsburg (1518), ketika didesak untuk mengaku salah dan menerima dekrit Paus, Luther dengan tegas menjawab, "Saya tidak akan muncul dari begitu banyak kesaksian Kitab Suci yang jelas, hanya karena sebuah dekrit Paus yang bermakna ganda." Lalu pada waktu Cajetanus mengingatkan otoritas Paus terhadap Alkitab, konsili dan gereja, Luther menyatakan pendiriannya dengan terus terang, "Dia (Paus) menyelewengkan Kitab Suci. Saya menyangkal bahwa ia mengatasi Kitab Suci.[17] " Jawaban ini mencerminkan pergumulan reformasi dalam rangka otoritas Alkitab, sebagaimana dirumuskan kemudian sebagai salah satu prinsip reformasi: Sola Scriptura. Berhubungan dengan prinsip ini, timbul pertanyaan: Apakah memang Luther sama sekali menolak otoritas gereja atas dasar Alkitab sebagai satu-satunya otoritas bagi umat percaya? Dari sejarah gereja, kita ketahui bahwa sikap Luther sendiri sebenarnya cenderung konservatif. Sejauh mungkin ia berusaha mempertahankan apa saja yang masih berlaku benar sesuai dengan ajaran Alkitab.
Dalam arti ini sikap Luther tidak dapat dikatakan "revolusioner". Baru kemudian karena konfrontasi tidak dapat dihindari lagi, Luther mengambil pendirian yang cukup revolusioner dengan menolak otoritas Paus sebagai satu-satunya yang berhak menafsirkan Alkitab. Dalam perdebatannya dengan Johann Eck di Leipzig (1519), misalnya, ia menegaskan bahwa Alkitab saja yang perlu diikuti: "Bukan kuasa Roma atau Inkuisisi yang berhak menetapkan pokok-pokok yang baru tentang iman. Tak ada orang Kristen yang dapat dipaksa di luar Kitab Suci, oleh hokum ilahi kita dilarang untuk percaya akan apa saja yang tidak ditetapkan oleh Kitab Suci atau wahyu yang jelas."
Martin Luther adalah seorang penafsir abad 16 yang paling berpengaruh. Sebagai pencetus Sola Scriptura inilah beberapa prinsipnya mengenai penafsiran Alkitab :
1.   Mementingkan iman dan penerangan Roh Kudus dalam menafsirkan Alkitab. Seorang penafsir tidak diperkenankan mengeritik Alkitab dengan rasionya yang hina, tetapi menggali arti Alkitab dengan berdoa dan meditasi.
2.   Alkitab memiliki otoritas tertinggi, lebih tinggi daripada gereja.
3.   Alkitab dapat dimengerti, dan bersifat konsekwen. Alkitab harus ditafsir dalam pengertian sederhana dan harifah. Alkitab harus ditafsir juga dengan memperhatikan tata bahasa, situasi, kondisi zaman penulis Alkitab, juga konteks ayat yang bersangkutan. Cara alegoris hanya bisa dipakai, jika kata-kata dari satu bagian Alkitab tak jelas, tanpa keliru, menuntut suatu penafsiran alegoris. Untuk penafsiran yang tepat, Alkitab harus dibaca dalam bahasa aslinya.
4.   Setiap orang Kristen dapat mengerti Alkitab tanpa pertolongan atau petunjuk dari gereja. Alkitab harus ditafsir dengan Alkitab. Yakni menafsir ayat yang kurang jelas dengan yang lebih jelas tanpa tradisi lisan gereja. Alkitab memiliki sifat kesatuan, dengan demikian suatu topik baru akan jelas, jika semua ayat yang bersangkutan sudah diperhatikan.
5.   Kristus adalah pusat dari Alkitab. Setiap prinsip harus diuji apakah membawa kita kepada Kristus.
6.   Membedakan Taurat dan Injil. Penafsir Alkitab tidak boleh mencampur-campurkan Taurat dengan Injil ( Gereja Roma Katolik telah merubah Injil menjadi Taurat baru). Taurat berfungsi menunjukan kesalahan manusia, sedangkan Injil adalah anugerah penyelamatan dan kuasa Allah. Seorang penafsir yang baik harus sanggup membedakan dua aktivitas Allah yang berlainan ini.[18]  Luther juga pernah berkata: “No one is bound to believe more than what is based on Scripture. The Word must be believed against all sight and feeling and understanding. It also has primacy over dreams, signs and wonders”. (Tidak seorang pun diharuskan untuk mempercayai sesuatu lebih dari pada apa yang dikatakan Alkitab. Alkitab harus dipercayai melebihi penglihatan, perasaan dan pengertian. Alkitab juga memiliki keutamaan lebih dari mimpi-mimpi, tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat).
Dalam kaitan dengan otoritas Alkitab pendirian Lutheran tentang kedudukan Alkitab sebagai otoritas tertinggi di atas Paus dan gereja juga tidak diungkapkan secara spesifik. Namun secara implisit Alkitab dijadikan norma tertinggi dalam menilai dan menyikapi pokok-pokok yang dipersoalkan. Ekspresi yang lebih eksplisit baru diberikan, misalnya, pada akhir bagian "Pasal-pasal tentang Iman dan Ajaran", tetapi tetap dalam bentuk yang diwarnai keinginan untuk berdamai: "Kira-kira demikianlah rangkuman ajaran-ajaran yang diberitakan dan diajarkan dalam gereja-gereja kami ........ Oleh karena ajaran ini jelas didasarkan pada Kitab Suci dan tidak bertentangan atau berlawanan dengan ajaran gereja Kristen yang am, atau bahkan dengan Gereja Roma (sepanjang ajarannya tercermin dalam tulisan-tulisan Bapa Gereja), kami berpendapat bahwa para penentang kami tidak dapat berselisih dengan kami dalam pasal-pasal yang dikemukakan di atas.[19]
Sesuai dengan pendekatan inkarnasional terhadap Alkitab, maka Luther tidak mengabaikan sisi manusiawi dari Alkitab. Pada satu pihak Luther dapat mengatakan bahwa setiap iota dari Alkitab adalah suci, sementara pada pihak lain ia justru tidak begitu peduli dengan kesalahan-kesalahan kecil yang terdapat dalam Alkitab, misalnya kekeliruan dalam mengutip nats-nats Perjanjian Lama oleh Perjanjian Baru. Bagi Luther sama seperti Kristus dalam inkarnasi tidak lepas dari sifat-sifat manusia, demikian juga Alkitab sebagai medium firman Allah tidak bebas dari keterbatasan-keterbatasan manusiawi. Itulah sebabnya dalam terjemahannya Luther dapat melawan godaan untuk menyelaraskan kutipan-kutipan dari kitab-kitab para nabi di dalam Perjanjian Baru dengan teks dari Perjanjian Lama.[20]
Bagi Luther firman itu adalah yang pertama dan yang terakhir difirmankan, yakni pernyataan yang hidup yang terjadi pada situasi tertentu. Tetapi firman yang hidup pada saat yang sama adalah perkataan yang terbatas karena isinya adalah perkataan para Rasul itu. Kritus telah memerintahkan para Rasul untuk menyebarkan kabar bahwa Ia adalah jurusalamat dan untuk mengajarkan keselamatan kepada dunia. Untuk maksud ini Ia telah menjanjikan dan telah memberikan mereka Roh Kudus, maka para Rasul dalam proklamasinya tentang Kristus adalah guru yang sah dan tidak salah. Semua pernyataan orang Kristen hanya bisa meneruskan dan menjelaskan perkataan Rasul ini. Pengajaran dari para Rasul adalah sumber dan secara konstan adalah stardar dari Firman yang dinyatakan oleh gereja. Proglamasi dari pada rasul sejatinya juga merupakan firman yang dikatakan karena injil bukan hanya sekedar kebenaran namun berasal dari kebenaran yang sesungguhnya. Karena injil bukan sekedar dari komunikasih dari kebenara dimana seseorang bisa mempelajari dengan membacanya saja namun lebih kepada panggilan manusia. Karena alasan ini bentuk utamanya adalah proglamasi yang dibicarakan. Firman yang dibicarakan bukanlah bentuk awal dari Kitab Suci dan firman yang tertulis bukan bentuk yang lebih berkembang di atas firman yang hidup. Kitab Suci memiliki sumber dan eksis demi proglamasi yang lisan. Kitab Suci yang tertulis diperlukan karena bahaya ajaran sesat dapat mebelokkan pesan-pesan rasuli. Maka kekristenan perlu memiliki (Kitab Suci) peringatan yang bertahan dari pengajaran Rasul dalam bentuk tertulis. Ini juga membuat jemaat lebih indefenden kepada guru-gurunya, karena guru-guru bisa juga gagal dan menjadi guru palsu, dan memiliki standar dimana mereka bisa mengkritik dan mengkoreksi pengajrannya, Kitab Suci menyediakan ini. Wibawa dan otoritas Alkitab itu sendiri bukan diciptakan oleh tafsiran manusia namun bagi luther Alkitab Perjanjian Lama dan PB merupakan firman dan suara yang hidup merupakan suatu kesatuan. Melalui isisnya Kitab Suci telah menjadikan diriNya sendiri berotoritas, karena isinya adalah tentang Kristus. Ini berarti di dalam Roh Kudus Kristus telah mengotentikkan dirinya sebagai kebenaran dan di dalam Kitab Suci. Kitab Suci adalah ratu yang menguasai semuanya dan dimana semuannya harus takluk dan menaati. Tidak ada seorangpun, siapapun dia diperbolehkan untuk menguasai dan menghakimi Kitab Suci, tetapi hanya untuk menyaksikannya, pemuritan dan pengakuan. Ini berarti tidak ada seorangpun bisa mengesahkan Kitab Suci, karena Kitab Suci mengesahkan dirinya sendiri. [21]
Apa yang disampaikan oleh Luther memang sebuah pemahamannya sebagai orang yang menghormati Alkitab sebagai wibawah tertinggi namun bagaimanakah dengan teologi kontemporer yang akan kita maksdukan ini karena kontemporer adalah gagasan post-strukturalisme yang lahir sebagai  sekularisme modern. Menurut Klein, gagasan kontemporer terhadap kebenaran adalah jamak. Pemikiran ini mendukung ideologi pluralisme dimana tidak ada satu agama atau cara pandang (worldview) yang mengandung kebenaran mutlak. Hal ini tentu saja menggugat hakikat Alkitab sebagai sebuah kebenaran dan satu-satunya kebenaran mutlak. Dalam pandangan ini, Alkitab diperlakukan sama dan sederajat dengan kitab-kitab lain dan tidak eksklusif diterima sebagai satu-satunya penyataan khusus Allah kepada manusia. Padahal menurut Erickson, Alkitab adalah buku yang berbeda karena Alkitab mencakup baik kehadiran Allah sendiri maupun kebenaran yang menginformasikan tentang diri-Nya.[22]
Tentu saja sebagai buku yang merupakan penyataan khusus Allah, Alkitab memiliki wibawa dan otoritas. Kontemporer justru menggugat kebenaran mutlak akan kewibawaan dan otoritas Alkitab tersebut. Kedua, pendekatan kontemporer terhadap teks, sangat bertentangan dengan natur utama hermenetik yaitu eksegesa. Pendekatan hermenetik kontemporer bukanlah teks atau konteks melainkan apa yang menjadi pikiran atau wawasan pembaca saat membaca teks Alkitab. Metodologi ini membuka ruang yang selebar-lebarnya untuk rekontekstualiasi, sesuatu yang sangat berbahaya dan membelokkan kebenaran menurut kemauan penafsir, yang oleh Lim disebut hermeneutical pitfalls.[23]
Mengapa disebut berbahaya, karena penafsir hanya akan memperlakukan teks Alkitab sebagai kumpulan dari ide-ide manusia belaka dan menolaknya sebagai ide Allah yang diinspirasikan kepada manusia. Mengapa hal  ini terjadi? Kembali kepada pemikiran Derrida, konsepnya tentang Allah telah mengalami dekonstruksi. Arti Allah bagi Derrida menurut salah seorang komentator, John D. Caputo dalam Deconstruction in a Nutshell, adalah sesuatu “Yang Lain”, maksudnya Allah dapat disebut dengan nama lain seperti “keadilan, keramahan, kesaksian, anugerah dan demokrasi. “Karena Allah adalah nama yang lain, tiap yang lain, tidak peduli siapa.”[24]
Dekonstruksi sebagai salah satu natur dari kontemporer memberikan ruang untuk membongkar struktur dan membentuknya kembali dengan menerima hal-hal marjinal. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima dalam konteks finalitas kanon Alkitab. Kitab, ayat dan isi Alkitab sudah selesai dan tidak dapat dikurangi atau diganggu gugat. Demikian juga dengan kebenaran yang diberitakannya baik di dalam Perjanjian Lama maupun di dalam Perjanjian Baru. Tidak ada hal yang perlu dipertanyakan lagi. Bahaya dari dekonstruksi adalah sikapnya yang terbuka untuk menerima kebenaran di luar struktur dan dianggap sebagai hal yang mungkin lebih benar dibandingkan yang selama ini diyakini benar. Jika ini diterapkan terhadap Alkitab, maka hal itu sama saja dengan arti menolak kanon, menerima surat-surat yang pernah ditolak oleh kanon dan menolak kebenaran yang diungkap di dalam kanon resmi. Maka tidaklah mengherankan, di abad 21, berbagai pemikiran sebagai produk dekonstruksi mengalir sebagai arus yang kuat. Penerimaan terhadap konsep alternatif mulai muncul. Beberapa penerbit mulai secara konsisten mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dulu dianggap sebagai bidat oleh Bapa-bapa Gereja. Naskah-naskah “alternatif” itu kemudian disandingkan sebagai upaya dekonstruksi terhadap finalitas kanon Alkitab.[25]
Hendrick Hart, profesor ICS, yang dikutip Ronald Nash, menyatakan “Alkitab sama sekali bukan Firman Allah, tetapi hanya merupakan contoh yang diilhami secara otoritatif dari penyataan Firman”. [26]
            Alkitab adalah kitab yang penuh dengan mitos merupakan serangan umum yang dilontarkan para kritikus Alkitab kontemporer. Alasannya, banyaknya cerita tentang mujizat yang ditemukan dalam halaman-halaman Alkitab. Bagi mereka, mujizat tidak mungkin terjadi. Alasan lainnya, keparalelan, misalnya cerita Alkitab tentang banjir dengan cerita yang ditemukan dalam mitologi Babel. Juga fakta bahwa ada kemiripan antara peristiwa-peristiwa pada zaman Yesus dengan gambaran dewa-dewa yang didapatkan dalam mitologi Yunani.[27]
Demikian juga dalam perkembangan selanjutnya, sepertinya Alkitab mengajarkan pandangan tentang realitas yang jelas bertentangan dengan hasil penyelidikan ilmiah modern yang meyakinkan. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa Alkitab mengajarkan pandangan yang primitif dan tidak ilmiah mengenai alam semesta yang tidak lagi sesuai untuk manusia modern.[28] Paul Tillich lebih merupakan seorang filsuf daripada teolog; ia berbicara tentang ide dan konsep bukan peristiwa-peristiwa sejarah dari Kitab Suci, Karena alasan ini, Tillich memberikan lebih banyak kepercayaan pada penalaran manusia, Pendekatan penafsirannya pada Kitab Suci merupakan semacam alegorisme modern, la memberikan arti yang baru pada kata-kata Alkitab, la menyangkali personalitas Allah dan menyebut-Nya hanya sebagai "Dasar yang Paling Terakhir dari Keberadaan" Dosa pribadi dan pemberontakan melawan Allah ditolak, demikian pula peristiwa sejarah dari Kejatuhan di Eden, Dosa manusia merupakan tidak adanya keprihatinan, Keselamatan bukan di dalam pribadi historis Kristus, tetapi di dalam suatu simbol; Yesus Kristus bukan pribadi historis dari Kitab Suci dalam teologi Tillich. Keselamatan bukan melalui penebusan untuk dosa, tetapi melalui keprihatinan yang paling tinggi.
Pendekatan Tillich terhadap Kitab Suci menyalahi semua doktrin utama dari iman Kristen, yang secara historis telah dipercayai selama ini. Bukan hanya beliau, namun Konsep John A. T. Robinson tentang Allah banyak kesamaan dengan Paul Tillich.
Robinson menolak doktrin Allah yang berpribadi demikian pula ketransendenan-Nya. la menyamakan Allah dengan alam semesta. Ia telah menyekularisasikan Kekristenan dengan usahanya untuk membuat terminologi yang lama dapat dipahami dan disesuaikan dengan pemikiran modern. Akibatnya, bahkan doa pun ditolak dan digantikan dengan keterlibatan sosial. Doktrin Kristus Robinson juga tidak ortodoksi. Dalam penolakannya terhadap inkarnasi, ia mengatakan bahwa Yesus tidak mengklaim diri-Nya sebagai Allah. Bagi Robinson, keselamatan adalah "kehidupan dari 'seorang manusia untuk orang lain', kasih di mana kita dibawa sepenuhnya menjadi satu dengan Dasar dari keberadaan kita ".
Teologi radikal Robinson tidak memiliki kesamaan dengan iman Kristen yang historik. Teologinya menyalahi arti normal dari kata-kata dan inti hermeneutik historik.

Alkitab dikatakan penuh dengan ketidaksesuaian yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Ada beberapa bagian Alkitab yang saling bertentangan sehingga menimbulkan ketidak akuratan dalam hal penulisannya. Misalnya tentang jumlah malaikat yang yang hadir di kubur Yesus pada peristiwa kebangkitan.[29]
Ada banyak sarjana Alkitab dan arkeologi yang berupaya untuk menemukan ketidaksesuaian antara catatan dan fakta sejarah yang terdapat dalam Alkitab yang dibuktikan dengan penelitian sejarah yang akurat didukung oleh bukti-bukti arkeologis.[30]
Alkitab menyatakan diri sebagai Firman Allah tidaklah cukup untuk membuktikan pengakuan tersebut. Werner Georg Kummel menyatakan bahwa Alkitab merupakan salah satu buku yang ditulis oleh manusia, sehingga buku itu sama seperti semua hasil pikiran manusia yang masih harus dibuktikan kebenarannya.[31]
Francis Bacon (1561-1624), seorang filsuf empiris, melalui bukunya NOVUM ORGANUM (1620) ia berhasil membangun dasar kritik modern terhadap Alkitab. Menurutnya, segala kebenaran hanya dapat diperoleh secara induktif (melalui pengalaman dan pikiran yang didasarkan atas impiris dan kesimpulan melalui hal yang khusus kepada hal yang umum. Baginya cara induktif cocok untuk semua bidang ilmu.
Untuk Alkitab Bacon mengatakan : (a) Alkitab tidak memberi fakta apapun mengenai dunia fisika. (b) Alkitab adalah buku yang hanya berguna bagi kesalehan, yang memimpin kepada sikap menghormati dan mentaati Allah, tetapi tidak berarti mengenal Allah secara obyektif dan benar. Pendukung yang begitu dekat adalah Inti utama dari neo-ortodoksi adalah sebagai berikut." Alkitab bukan wahyu, tetapi kesaksian dari wahyu; hal itu tidak sama secara objektif dengan Firman Allah; wahyu Allah bukan dalam perkataan. Yesus Kristus adalah poin fokal dari wahyu Allah: manusia berjumpa dengan Allah dalam pengalaman perjumpaan dengan Yesus Kristus. Peristiwa-peristiwa dari Kitab Suci, seperti kebangkitan Kristus, diistilahkan geschichte, "cerita", sebagai kontras dengan historie, "sejarah". Geschichte menunjuk pada ketransendenan, kebenaran berdasarkan pengalaman akan Allah yang tidak dipengaruhi oleh kebenaran atau kekeliruan yang merupakan karakteristik dari partikular historie yang terikat dengan bumi. Historie secara historis dapat diverifikasi, karena itu, level yang lebih rendah dari Kitab Suci di mana kesalahan-kesalahan dapat dan telah ditemukan.
   
2.8. Analisa
Sebagai seorang dogtor Kitab Suci pastilah Luther menjungjung tinggi nilai kitab itu secara utuh. Sehingga Alkitab diyatakan memiliki wibawah yang memang dengan sendirinya. Alkitab adalah firman yang memang diwahyukan melalui penulisnya manusia, namun sebagai firman ia tetap memiliki kuasa. Namun teologi kontemporer melihat bahwa teologi Alkitab itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan ilmu filsafat dan cenderung mengarah kepada nilai-nilai etika tanpa memiliki karya Ilahi. Sebagai prinsip yang mengembangkan filsafat, humanis, dan rasinalisme Alkitab bukanlah bagian dari wahyu namun kitab yang biasa. Itu artinya paham itu mengangap wibawah itu berada dan ada dalam buku itu namun sebagai pedoman hidup tanpa melihat nilai-nilai Ilahi. Oleh karena itu jelaslah pandangan teologi kontemporer menganggap Kitab Suci adalah tulisan manusia. Tulisan manusia yang penafsir lihat adalah hanya sampai kepada upaya dan karya manusia itu sendiri tanpa melihat sisi Ilahi yang tadi.
Bila berbicara mengenai wewenang Alkitab, kita maksudkan bahwa Alkitab sebaga ucapan kehendak Allah bagi umat-Nya, dimana ucapan tersebut memiliki hak mutlak, apa yang harus kita imani. Aka tetapi wewenang yang dimaksudkan disini ialah hak untuk menuntut kepercayaan atau tindakan tertentu. Setidaknya ada wewenang yang harus kita miliki disini adalah berkaitan denan iman kita adalah wewenang berkaitan dengan keagamaan.Karena, bila kita memutuskan berbicara wewenang keagamaan maka tidak ada lembaga tertentu, atau dokumen tertentu yang memiliki hak untuk mengatur kepercayaan kita, dalam arti yang mendasar. Oleh karenanya dengan wewenang itu maka kita, sebagai pribadi berhak untuk menetapkan maka dan asal-usil ilahi Alkitab, maksudnya disini kita dapat menafsirkan gunan memahami dan kita berhak secara bebas untuk menggeli guna mengetahui makan yang terkandung dari kebenaran Alkitab kita.
Alkitab berasal dari Allah dan merupakan amanat Allah kepada umat manusia. Masalah-masalah yang terjadi dalam merumuskan teori pengilhaman yaitu cara kita mendayagunakan Alkitab akan dipengaruhi oleh pemikiran kita tentang sifatnya, mengkritik, mengubah, pengertian yang disajikan Alkitab, perbedaan-perbedaan yang terjadi diantara teori-teori pengilhaman injili, sifat dan tingkat pengilhaman, bisa dideteksi, menggunakan sumber-sumber sejarah. Ada beberapa cara pemecahan persoalan-persoalan yang telah diajukan : teori naluri, teori pencerahan, teori dinamik, teori verbal, dan teori pendiktean. Metode yang digunakan untuk menyusun doktrin pengilhaman yaitu menekankan perikop-perikop didaktik (menguraikan dan mendefenisikan pengudusan) dan melihat kasus-kasus aktual dalam kehidupan orang-orang Kristen dan berusaha untuk menentukan hasil tentang pengudusan. untuk menganalisa hal di atas ada beberapa yang penyeminar sampaikan:
1.      Historis-Kritis didasarkan atas keputusan: Melihat Alkitab sebagai sebuah dokumen sejarah agama kuno,  yang harus dinilai dan dikritik oleh akal manusia. Para teolog Historis Kritis menyadari bahwa Alkitab sangat berarti bagi gereja sebagai kanon kitab kudus, namun mereka tidak mampu menghargai Alkitab sebagai firman Allah atau sebagai wahyu yg diilhamkan oleh Roh Kudus.
2.      Bertentangan dengan kitab, . kritis bertumpu pada pikiran monisme: hanya ada satu-satunya dunia yang real, yaitu dunia yang nampak. Dunia yang tak tampak, secara real tidak ada (kecuali mungkin itu Allah sendiri). Itu hanya bersifat gambaran atau mitos. Karena itu apa yang ditulis dalam Alkitab, misalnya Yesus datang dari surga, dilahirkan oleh anak dara, dll, bukan peristiwa yg bersifat historis-real, melainkan gambaran sesuai dengan cara berpikir manusia kuno (berarti sebagai mitos).  Itulah ciri bidat. Semua itu dicela/ditentang firman Allah (2Ptr 3: 3-4;1Yoh 2: 22-23; 4:2-3)
3.      Teologi mereka tidak dibangun di atas dasar Yesus, karena bagi mereka Yesus yang hadir itu Yesus yang sebagai nilai historika
4.      Penulis kitab (humanisme)
Alkitab tidak dapat memberitahukan wahyu apapun, sebab dalam Alkitab yang tidak masuk akal (absurd), mustahil. Misalnya, Keilahian Yesus Kristus, Allah Tritunggal. Percaya kepada hal-hal yang absurd merupakan kepercayaan yang buta. Karena bagi mereka nilai Alkitab dianggap sebagai nilai yang benar melalui akal dan rasional manusia itu sendiri.
Oleh karena itu dapat kita sampaikan kedudukan dan wibawh Alkitab itu tetap memiliki wibawah hanya saja sebagai orang yang menemukan pendapat dan pemahaman kontemporer menilai bahwa wibawah itu diakui sebagai sumber pengetahuan dan sumber perbuatan baik. Bukan seperti apa yang disampaikan Luther bahwa wibawah itu terdapat sebagai Ilahi yang diwahyukan melalui Roh Kudus.

III.             Kesimpulan
Sebagai orang yang mendominasi pemikiran dan pemahaman filsafat dan historis teologi kontemporer menitik beatkan bahwa Alkitab adalah sebuah tulisan biasa dan tidak memiliki nilai Ilahi. Namun sebagai kristen yang setia maka ia hadir mennunjukkan bahwa Alkitab itu adalah firman yang hidup dan berkuasa. Kewibawahan Alkitab itu seharusnya dinilai bukan saja hal sebagai sumber pengetahuan dan fisafat, namun dianggap sebagai wibawa Alkitab adalah wahyu dan Alkitab itu adalah firman Allah, firman itu disebut bukan hadir dari manusia namun firman itu ada sebagaimana Alkitab itu sendiri memiliki wibawanya sebagai firman.

IV.             Daftar Pustaka
Althaus Paul, The Theology of Martin Luther, USA:Fortress Press, 1979
Bainton R., Here I Stand: A Life of Martin Luther, New York Abingdon Press, 1950
Braaten Carl E., Principles Of Lutheran Theology, Philadelphia: Fortpess Press, 1989
Collins Gerald O’, SJ, Kamus Teologi, Yogyakarta: KANISIUS, 1996
Dister Niko Syukur, Pengantar Teologi, Jakarta: BPK-GM, 1990
Donnel Kevin O., Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2009
Erickson Millard J., Teologi Kristen Volume Satu Malang: Gandum Mas, 2004
Groothuis Douglas, Jesus In An Age of Controversy, Eugene, OR: Wipf and Stock Publishers, 1996
Hadiwijono Johnson T.K. Lim, Hebrew, Hermeneutics and Homiletics: Collected Works with New Essays and Sermons of Johnson T.K. Lim , Hongkong: ABGTS Publication, 2010
Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2010
Karman Yonky, Kanon Dan Tafsir Alkitab dalam Forum Biblika, Jakarta: LAI, 2000
Koehler Edward W.A., Intisari Ajaran Kristen, Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2010
Konfesi Augsburg, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1993
Kooiman W.J., Martin Luther, Jakarta:BPK-GM, 2009
Linemann Eta, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga?, Batu: I-3, 1991
Nash Ronald H., Firman Allah dan Akal Budi Manusia, Jakarta: Momentum, 2008
Niftrik G.C. van & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 2008
PoerwadarmintW.J.S. o, KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Sproul R.C., Mengapa Percaya?, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1999
Walls A.F., “Kitab Suci”, dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini A-L, Jakarta: YKBK, 1988
Weck G. Johanes Botter, Theological Dictionary of the Old Teestament, Michigan: Grand Rapids, 1984

Sumber internet
http://haleluuyah.wordpress.com/bahan-theology-kontemporer/




[1] http://ferrykeintjem.wordpress.com/2011/04/07/sola-scriptura/ diakses pada hari/tanggal rabu, Oktober 2013
[2] W.J.S. Poerwadarminto, KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hlm. 27
[3]Gerald O’Collins, SJ, Kamus Teologi, Yogyakarta: KANISIUS, 1996, hlm. 145
[4]G. Johanes Botter Weck, Theological Dictionary of the Old Teestament, Michigan: Grand Rapids, 1984, hlm. 372-373
[5]A.F. Walls, “Kitab Suci”, dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini A-L, Jakarta: YKBK, 1988, hlm. 567
[6] Yonky Karman, Kanon Dan Tafsir Alkitab dalam Forum Biblika, Jakarta: LAI, 2000, hlm. 15-16
[7] Edward W.A. Koehler, Intisari Ajaran Kristen, Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2010, hlm. 4
[8] Niko Syukur Dister, Pengantar Teologi, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm. 163-167
[9] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2010, hlm. 67-70
[10]Carl E. Braaten, Principles Of Lutheran Theology, Philadelphia: Fortpess Press, 1989, hlm. 3-8
[11]Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, USA:Fortress Press, 1979, hlm. 7-8
[12]Ibid, hlm. 74-75
[13] http://haleluuyah.wordpress.com/bahan-theology-kontemporer/ diakses pada/hari, Rabu,  23, Oktober , 2013
[14] http://haleluuyah.wordpress.com/bahan-theology-kontemporer/ diakses pada/hari, Rabu,  23, Oktober , 2013

[15] G.C. van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 2008, 399.
[16] W.J. Kooiman, Martin Luther, Jakarta:BPK-GM, 2009, hlm. 34
[17] R. Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther, New York Abingdon Press, 1950, hlm. 96
[18] http://ferrykeintjem.wordpress.com/2011/04/07/sola-scriptura/, diakses pada/hari, Rabu,  23, Oktober , 2013
[19] Konfesi Augsburg, Jakarta (BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 43
[20] R. Bainton, Op,Cit, hlm. 331
[21] Paul Althaus , Op,CiT, hlm. 72-75
[22] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume Satu Malang: Gandum Mas, 2004, hlm.  315.
[23] Johnson T.K. Lim, Hebrew, Hermeneutics and Homiletics: Collected Works with New Essays and Sermons of Johnson T.K. Lim , Hongkong: ABGTS Publication, 2010,hlm.  210.
[24] Kevin O. Donnel, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 134
[25] Douglas Groothuis, Jesus In An Age of Controversy, Eugene, OR: Wipf and Stock Publishers, 1996, hlm. 19
[26]. Ronald H. Nash, Firman Allah dan Akal Budi Manusia, Jakarta: Momentum, 2008, hlm. 160.
[27] R.C. Sproul, Mengapa Percaya?, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1999, hlm. 10
[28] Ibid.,hlm.  13
[29] Ibid., hlm. 14-15.
[30] Ibid., hlm. 16-17.
[31] Eta Linemann, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga?, Batu: I-3, 1991,hlm.  93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar